REPUBLIKA.CO.ID, Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Saat jalanan macet atau menunggu di lampu merah, seringkali momentersebut menjadi ajang aksi beranekaragam kemampuan, tidak kalah dengan acara pencari bakat di televisi.
Mulai dari atraksi monyet, tarian etnis, nyanyian pengamen, manusia perak, atraksi meniup suling dari hidung, belum lagi yang berjualan dari mulai peta manual sampai GPS, buku biografi, badut sulap, jajanan, belum brosur-brosur rumah yang disebar lengkap sampai mainan anak.
“Sayang anak, sayang anak”, katanya. Mantap juga “keywords” nya, sayang anak! Memang tidak membeli bukan berarti tidak sayang tapi terbersit juga untuk menyenangkan hati anak-anak saya.
Biasanya kita berpikir untuk menyenangkan anak dengan membeli mainankah? atau berliburkah? Jajan, nonton film, games atau hal-hal lainnya yang disukai oleh anak-anak kita.
Namun lebih jauh dalam kemacetan ini pikiran saya dilayangkan menuju apa yang sebenarnya anak-anak kita butuhkan, bukan hanya apa yang diinginkan “wants” tapi juga “needs”. Tentang kesehatan, pendidikan, wawasan, kreativitas, tabungan masa depan mungkin, dan sebagainya-dan sebagainya, bagaimana tentang akhlak dan budi pekerti?
Nah yang terakhir ini yang utama agama!.
Teringat surah Luqman dalam Alquran yang sangat terkenal menjadi dasar nasihat seorang ayah terhadap anaknya. Dalam beberapa tafsir yang dimaksud dalam surah ini adalah seorang ayah yang terkenal dengan kata-kata bijak yang bernama Luqman Al-Hakim.
Banyak pendapat tentangnya, ada yang berpendapat beliau berasal dari Nuba penduduk Ailah, ada yang menyebutkan dari Ethiopia, ada yang dari Mesir, ada yang berkulit hitam, ada yang berasal dari Ibrani. Profesinya pun ada yang menyebutkan sebagai tukang kayu, penjahit ataupun penggembala. Tetapi hamper semua yang meriwayatkan sepakat bahwa Luqman Al Hakim bukanlah seorang Nabi dan bukan seorang Arab.
Sahabat Umar bin Khattab ra menyatakan bahwa Nabi SAW bersabda; “Aku berkata benar, sesungguhnya Luqman bukanlah seorang Nabi, tetapi dia adalah seorang hamba Allah yang banyak menampung kebajikan, banyak merenung, dan keyakinannya lurus. Dia mencintai Allah, maka Allah mencintainya, menganugerahkan kepadanya hikmah.
Suatu ketika dia tidur di siang hari, tiba-tiba mendengar suara memanggilnya seraya berkata; “Hai Luqman maukah engkau dijadikan Allah khalifah yang memerintah bumi?” Luqman menjawab,”Kalau Tuhanku memberi pilihan, maka aku memilih afiat (perlindungan) tidak memilih ujian. Tetapi bila itu ketetapanNya, maka akan kuperkenankan dan kupatuhi, karena kau tahu bahwa bila itu ditetapkan Allah bagiku, pastilah Dia melindungiku dan membantuku.
Para Malaikat yang tidak dilihat Luqman bertanya,“Mengapa demikian?” Luqman menjawab, “Karena penguasa adalah kedudukan yang paling sulit dan paling keruh. Kezaliman menyelubunginya dari segala penjuru. Bila seorang adil maka wajar ia selamat, dan bila ia keliru, keliru pula ia menelusuri jalan ke surga. Seorang yang hidup hina didunia lebih aman daripada ia hidup mulia (dalam pandangan manusia). Dan siapa memilih dunia dengan mengabaikan akhirat, ia tidak memperoleh sesuatu di akhirat"
Para malaikat sangat kagum terhadap ucapannya. Selanjutnya Luqman tertidur lagi. Dan ketika ia terbangun, jiwanya telah dipenuhi hikmah dan sejak itu seluruh ucapannya adalah hikmah. Demikian ditemukan dalam kitab hadits Musnad Al Firdaus Tafsir Al Misbah.
Inilah ayat-ayat yang mengisahkan tentang nasihat dari Luqman terhadap anaknya. [Ayat 13] Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”
Kata “ya’izhuhu” yang diartikan pelajaran, terambil dari kata wa’zh yaitu nasihat menyangkut berbagai kebajikan dengan cara yang menyentuh hati. Ini memberi gambaran tentang bagaimana perkataan itu beliau sampaikan, yakni tidak membentak, tetapi penuh kasih sayang sebagaimana dipahami dari panggilan mesranya kepada anak.
Dikarenakan kata “bunnayya” menggambarkan sesuatu yang mungil. Karena asal katanya dari “ibn” yakni anak lelaki. Dari hal trersebut dapat dipahami bahwa memberi pelajaran atau mendidik mesti didasari oleh rasa kasih sayang. Kemudian Luqman memulai nasihatnya dengan menekankan perlunya menghindari syirik.
Hal tersebut mengandung pengenalan terhadap tauhid atau keesaan Allah sekaligus menekankan perlunya meninggalkan sesuatu yang buruk sebelum melaksanakan yang baik. “At takhliyah muqaddamun ‘ala at-tahliyah” artinya ; menyingkirkan keburukan lebih utama daripada menyandang perhiasan.
[Ayat 14 - 15] Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Ayat-ayat diatas dinilai oleh banyak ulama bukan bagian dari pengajaran Luqman kepada anaknya. Ia disisipkan Alquran untuk menunjukan betapa penghormatan dan berbakti kepada kedua orangtua menempati tempat kedua setelah pengagungan kepada Allah SWT.
Menurut al-Biqa’I tetapi bukanlah berarti Luqman tidak menasehati akan hal tersebut, namun ini dikarenakan Allah ingin agar nasihat tersebut mencakup seluruh manusia. Menurut Ibn ‘Asyur dikarenakan Luqman bukanlah seorang Nabi karenanya nasehat ini bentuk redaksionalnya menjadi sisipan, bukan yang beliau sampaikan sesuai dengan wahyu seperti para Nabi, namun kecenderungan bahwa Luqmanpun menasehati hal tersebut diatas sangatlah besar.
[Ayat 16] (Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
Ayat ini mengedepankan agar anak mengenal Allah (marifatullah), dan segala sesuatu yang diupayakan berupa kebaikan (begitu pula dengan keburukan) akan mendapat balasannya, walaupun hanya setitik atau seberat biji sawi.
[Ayat 17] Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
Nasihat Luqman diatas menyangkut segala hal amal saleh yang puncaknya adalah shalat, serta amal kebajikan yang tercermin dalam amar ma’ruf nahi munkar. Juga nasihat berupa benteng atau perisai yang melindungi seseorang dari perasaan-perasaan kegagalan, musibah dan sebagainya yaitu sabar dan tabah.
[Ayat 18 - 19] Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
Nasihat Luqman dalam ayat diatas adalah berkaitan dengan akhlaq dan sopan santun berinteraksi dengan sesama manusia. Hal tersebut menegaskan bahwa ajaran akidah dan akhlaq merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
InsyaAllah semoga kita dapat mengkajinya lagi dalam kesempatan lain, tulisan ini hanya sebagai trigger untuk kita para orang tua untuk mengkaji nasihat-nasihat Luqman yang mencakup pokok-pokok tuntunan agama. Dimana akidah, syariat dan akhlak dikedepankan dalam nasihat kepada anaknya.
Akhlak terhadap Allah, terhadap orang tua, terhadap orang lain sekaligus diri sendiri. Perintah amar ma’ruf nahi mungkar, perintah bersabar yang merupakan syarat untuk sukses dunia akhirat. Dan dari itu semua, kembali kepada teriakan sayang anak, sayang anak dikemacetan tadi.
Sudahkah kita mengedepankan seluruh prioritas dari apa yang semestinya kita berikan kepada anak-anak kita? yaitu mengenalkan Allah dan RasulNya, Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah. Insya Allah, Mari !.
Tidaklah lebih baik dari yang menulis ataupun yang membaca, karena yang lebih baik di sisi Allah adalah yang mengamalkannya.
Ustaz Erick Yusuf: Penggagas iHaqi
@erickyusuf