REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaksanaan Voluntary Partnership Agreement on Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT–VPA) kembali tertunda. Sekertaris Jendral Kementrian Kehutanan, Hadi Daryanto mengatakan VPA kemungkinan baru terlaksana Juni mendatang.
Uni Eropa selaku pihak yang mengeluarkan peraturan masih mengalami kendala translasi akibat harus menerjemahkan dokumen ke dalam 21 bahasa. "Dari dulu alasannya itu saja (translasi)," ujar Hadi, Senin (27/5).
Penandatanganan VPA sudah tertunda hampir enam bulan lamanya. Ketetapan ini dibutuhkan Indonesia untuk menjadi jaminan bahwa produk kayu Indonesia bukanlah hasil pembalakan liar. Pemerintah bahkan telah mengimbau para pengusaha untuk lekas mengurus Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) demi kelancaran VPA.
Penundaan ini menurut Hadi menimbulkan sejumlah kerugian. Pengusaha telah mengeluarkan sejumlah dana untuk mempercepat izin SVLK. Dari sisi pemerintah, kerugian mencakup persiapan antara lain untuk penguatan kapasitas, sosialisasi dan efektivitas anggaran belanja negara. "Kita udah siap, malah kita jadi rugi karena malah ada ketidakpastian," ujarnya.
Awalnya rencana penerapan SVLK diwajibkan bagi setiap perusahaan mulai bulan Maret 2013. Namun pengusaha kecil kerap mengeluhkan biaya pembuatan SVLK yang tinggi. Pemerintah lalu membolehkan pengusaha kecil untuk membentuk paguyuban agar SVLK dapat digunakan bersama. Saat ini hampir semua perusahaan pengolah hasil hutan, kecuali furnitur telah melengkapi dokumen SVLK. Dokumen ini bisa dipakai untuk kegiatan ekspor sementara menunggugu VPA ditandatangani.
Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, sejak Januari hingga April 2013, ekspor kayu V-Legal Indonesia mencapai 1,083 miliar dolar AS. Ekspor paling besar adalah ke China sebesar 526,9 juta dolar AS, disusul Jepang 362,9 juta dolar AS, Korea Selatan 143,9 juta dolar AS, dan Amerika Serikat sebesar 132,2 juta dolar AS. Sementara itu ekspor kayu yang sudah dijamin legatitasnya ke Inggris hanya sebesar 46,8 juta dolar AS dan ke Jerman sebesar 41,1 juta dolar AS.
Penandatanganan VPA akan menyederhanakan proses ketika eksportir akan mengirimkan produk ke Uni Eropa. Dengan adanya VPA, proses pemasukan yang semula ada 11 tahap menusut hanya 8 bahkan 5 tahap. Izin ini menurutnya akan mempengaruhi industri kehutanan mulai dari tingkat hulu ke hilir.
Ketua Umum Asosiasi Gergaji dan Pertukangan (ISWA) Soewarni mengatakan pasar Uni Eropa sangat menarik untuk eksportir olahan kayu. Uni Eropa berani menawarkan harga yang tinggi dibandingkan negara lain karena menginkan kayu yang berasal dari hutan alam. Untuk produk furniture misalnya, harga rata-rata negara lain yaitu 582 dolar AS per kubik. Sedangkan di Uni Eropa, harga rata-rata mencapai 1264 dolar AS per meter kubik.