REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Uni Eropa sepakat untuk mencabut embargo senjatanya terhadap pemberontak Suriah. Namun, tak satupun anggota Uni Eropa berniat mengirim senjata dalam bulan-bulan mendatang karena khawatir membahayakan prakarsa perdamaian Amerika Serikat-Rusia.
Setelah perundingan 12 jam yang sangat melelahkan di Brussels, Menteri Luar Negeri Inggris William Hague mengumumkan persetujuan untuk mencabut embargo senjata terhadap pemberontak, sementara mempertahankan satu paket sanksi yang telah berlangsung dua tahun terhadap pemerintah Presiden Bashar al-Assad.
Inggris dan Prancis yang memelopori pencabutan embargo senjata itu sementara Austria, Swedia, Finlandia dan Republik Ceko enggan karena dengan pencabutan itu akan lebih banyak senjata masuk di negara yang dilanda konflik itu yang telah menewaskan lebih dari 94.000 orang.
Mengirim senjata-senjata "bertentangan prinsip" Eropa yang adalah satu "masyarakat damai", kata Menteri Luar Negeri Austria Michael Spindelegger, yangs sejak lama menentang keras tindakan itu.
Seorang pejabat Prancis di Paris menegaskan "ini adalah satu pencabutan embargo teoritis. Dalam syarat-syarat konkret, tidak akan ada keputusan bagi pengiriman senjata sebelum 1 Agustus".
Penangguhan itu akan memungkinkan bagi konferensi perdamaian mengenai Suriah yang diprakarsai AS-Rusia, yang mengharapkan pemerintah Presiden Bashar al-Assad dan para tokoh oposisi hadir pada pertemuan itu bulan depan.
Perjanjian yang disetujui di Brussels itu memberikan hak kepada setiap negara untuk memutuskan pengiriman senjata kepada pemberontak. Para menteri berikrar akan berpegang pada pengamanan agar senjata-senjata yang diekspor itu tidak disalahgunakan dan menghormati ketentuan-ketentuan Uni Eropa.
"Tidak satu negarapun berniat mengirim senjata pada saat ini," tambah Frans Timmermans, menteri Belanda yang berusaha melakukan kompromi.
"Banyak senjata telah berada pada pihak yang salah," katanya. "Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik itu tidak kekurangan senjata."