REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dinilai tidak serius dalam mengurus pangan dalam negeri. Akibatnya, kondisi pangan di Indonesia semakin rentan. Lalu ambisi untuk mewujudkan pangan yang berdaulat di negeri sendiri masih jauh dari harapan.
Hal tersebut disampaikan oleh Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS) sebagai catatan kepada pemerintah.
"Meski besaran anggaran untuk pangan terus meningkat, tetapi fakta yang terjadi di lapangan memperlihatkan sebaliknya. Kondisi pangan Indonesia justru semakin rentan," kata Tejo Wahyu Jatmiko, koordinator nasional ADS, dalam siaran pers yang diterima Republika di Jakarta, Selasa (28/5).
Tejo mengatakan, sejauh ini anggaran untuk pangan masih banyak diberikan kepada pihak yang tak berhak menerima. Ia menilai anggaran tersebut justru hanya menguntungkan sekelompok orang saja.
"Banyak keanehan, bahkan kesesaatan dalam proses menerjemahkan Rencana Kerja Jangka Panjang (RKJP) dan Rencana Kerja Jangka Menengah (RKJM) menjadi proyek-proyek yang tidak saling berkaitan untuk mendukung kedaulatan pangan," ujar Tejo.
Said Abdullah, koordinator Pokja Beras, mengatakan, pemerintah bersikap tidak serius untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Ini terlihat dengan semakin derasnya impor pangan ke Indonesia.
"Data BPS menunjukkan dari tahun ke tahun rasio ekspor-impor produk pertanian semakin besar. Volume dan nilai impor terus bertambah sementara ekspor terus menurun," papar Said.
Sejauh ini pemerintah, menurut Said, belum fokus untuk memperkuat sistem pangan kepada para produsen pangan kecil di negeri ini. Ia pun menyangsikan kemauan pemerintah untuk mewujudkan pangan yang berdaulat di negeri sendiri.
"Tidak heran kalau target swasembada beberapa produk pangan, diantaranya daging sapi akhirnya menjadi sumber pendanaan partai, karena produsen pangan kecil kita tidak menjadi fokus untuk memperkuat sistem pangan bangsa," ujar Said.