Selasa 28 May 2013 22:26 WIB

Kisah Thayub, Saat Muslim Rohingya 'Mengejar' Australia

Muslim Rohingya
Foto: Youtube
Muslim Rohingya

 Oleh Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID,Mohammad Thayub (42 tahun) pindah dari Myanmar sejak 1988. Pria paruh baya ini membawa serta istrinya untuk keluar dari negeri yang penuh konflik itu. Menurutnya, Rohingya memang berdarah sejak pemerintah junta militer memberlakukan kebijakan diskriminasi pada 1977.

Selama 11 tahun hidup di negara tersebut, banyak penyiksaan yang dialami suku muslim Rohingya. Mulai dari pemukulan, perampasan harta, penembakan, pembakaran rumah hingga memperkosa perempuan dari suku muslim itu.

Biasanya tindakan brutal terhadap suku muslim Rohingya dilakukan pada malam hari dan ia beserta keluarganya sudah terbiasa untuk bersembunyi dari kejaran tentara maupun kelompok masyarakat mayoritas Myanmar pada malam hari.

"Dulu sudah biasa keluar dan masuk hutan. Makanya ada kebijakan itu sama saja untuk menghabisi suku kami," tuturnya saat berbincang dengan Republika, di rumah detensi imigran (Rudenim) Denpasar, Bali, Selasa (28/5) dengan Bahasa Indonesia yang lancar.

Kebijakan itu, lanjutnya, merupakan salah satu kebijakan pemerintah yang sangat diskriminatif bagi suku muslim Rohingya. Bahkan untuk menikahi istri kedua, warga suku muslim Rohingya diharuskan membayar denda atau dikurung penjara selama enam bulan.

Dengan berbagai perlakuan diskriminatif tersebut, ia pun memutuskan untuk kabur dari negara itu pada 1988. Dia tinggal selama bertahun-tahun di Malaysia dengan harapan kehidupannya akan menjadi lebih baik karena tinggal di negara dengan mayoritas penduduknya muslim seperti dirinya.

Namun hingga ia sudah memiliki empat orang anak, kehidupannya pun tak kunjung membaik. Pemerintah Malaysia, menurutnya tidak memperhatikan kehidupan bagi imigran sepertinya. Empat orang anaknya juga tidak mendapatkan haknya untuk memperoleh pendidikan di negara itu.

"Saya tidak ingin kalau saya mati, anak-anak saya tidak jelas hidupnya. Saya mendengar kabar dari saudara di Australia mendapat hidup yang lebih baik, makanya saya dan keluarga mau ikut ke sana," jelasnya.

Bersama keluarga, dia pun mulai mencari agen-agen untuk mengantar berlayar secara ilegal memasuki negeri kanguru itu pada 2012 lalu. Ia menemukan agen tersebut dan meminta bayaran sebesar 10 ribu Ringgit Malaysia per orang atau sekitar Rp 30 juta.

Uang yang diminta agen tersebut sudah dibayarkan. Waktu pemberangkatan juga sudah ditentukan. Hingga kemudian berlayar menuju Australia. Hanya, belum sampai perbatasan antara Indonesia dan Australia di Samudera Hindia, sang nakhoda melarikan diri.

Padahal saat itu di kapal terisi sebanyak 67 orang imigran gelap seperti  dan tidak ada yang mengetahui cara mengemudi kapal. Setelah terombang-ambing di lautan, duabelas orang di antaranya meninggal karena kelaparan dan kekurangan cairan.

Hingga akhirnya perahu yang ditumpanginya ditemukan pihak kepolisian dan ditampung di Rudenim Denpasar.

"Saya sedang menunggu proses dari UNHCR (Badan PBB untuk masalah pengungsian). Saya berharap dapat tinggal di Australia. Keluarga di sana sudah bisa bekerja dan mendapat kewarganegaraan," ucapnya sambil menggendong anak kelimanya yang berusia 1 bulan 2 hari ini.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement