REPUBLIKA.CO.ID, Turki kini mengalami huru-hara terbesar dan terkeras dalam beberapa dekade terakhir, saat puluhan ribu pemuda menyuarakan penentangan terhadap pemerintah Islam modern yang diusung Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan.
Ratusan demonstran dan polisi terluka begitu otoritas memerintahkan untuk meredam tuntas demonstrasi yang telah berlangsung selama empat hari. Gas air mata, meriam air, pentungan dan sensor ketat terhadap media dikerahkan.
Senin (3/6) kemarin, Erdogan menuding demonstran 'jalan bergandengan tangan' dengan terorisme, namun kecaman itu hanya membuat massa kian membesar.
Masih menggaungkan peristiwa protes Revolusi Arab dan Occupy Wall Street pada 2011, gerakan ini juga dipoles dengan gambar-gambar yang menyebar cepat di sosial media, seperti foto polisi menyemprotkan gas air mata ke seorang wanita muda dalam pakaian merah. Gambar itu disertai dengan caption yang menjadi populer di Twitter. "The more they spray, the bigger we get"
Awalnya protes ini dipicu oleh rencanap pemerintah untuk menggusur Taman Gezi Taksim yang penuh dengan pepohonan dan ruang hijau dengan mall perbelanjaan untuk turis. Langkah itu membuat sejarawan terkemuka Turki, Edhem Eldem, mengeluarkan sindiran dengan "Kemegahan Utsmani ala Las Vegas".
Pepohonan terutama di Istanbul sangat berharga, di mana hanya 1,5 persen lahan adalah ruang hijau, ( Jakarta mungkin masih lebih baik dengan 9 %, jauh lebih baik lagi New York yang memiliki 17 persen ruang hijau). Hanya saja protes kemudian mencerminkan keprihatinan lebih luas lagi menyangkut gaya pemerintah Erdogan yang otokratis dan sosial konservatif.
Golongan sekuler Instanbul banyak yang meradang dengan cara Erdogan menabrak lewat poyek-proyek pembangunan demi menciptakan budaya kosmopolitan. Sebagian besar proyek itu dinilai tidak menghormati aspek sejarah Eropa dan non-Muslim yang juga pernah hadir dan membentuk masyarakat Turki.
Gereja Ortodok Rusia abad ke-19 juga ikut dihancurkan saat merevitalisasi pelabuhan. Erdogan juga diprotes saat menerapkan pembatasan penjualan alkohol dan alat kontrasepsi untuk menahan laju kelahiran. Ia juga disebut-sebut kerap mengurung lawan politik dan para kuli tinta yang bersuara keras terhadap kebijakannya.
Protes itu berlangsung sejak Jumat, dan hingga kini, menurut Kantor Berita Andalou, demonstransi terjadi di 67 dari total 80 provinsi di negara itu. Sekurangnya 1.700 orang telah ditahan
Foto-foto menunjukkan ada kebakaran di jalanan dan beberapa mobil terbakar. Protes ini dilaporkan telah memakan satu korban, seorang demonstran tewas pada Ahada, saat sebuah taksi tiba-tiba melaju di kerumunan tanpa memedulikan massa. Kantor kepresidenan mengklaim kematian itu diakibatkan kecelakaan. Menurut CNN, 58 warga sipil masih dirawat di rumah sakit dan 115 petugas keamanan terluka dalam bentrok antara demonstran dan aparat.
Meski demikian Erdogan tak lantas disebut sebagai diktator Islam. Media barat seperti Washington Post bahkan masih memandang sang perdana menteri sebagai model untuk demokrasi di Turki dan dunia Islam.
Sejak berkuasa pada 2002, Partai Pembangunan dan Keadilan (AKP) tempat Erdogan berasal, telah dua kali memenangkan pemilu dengan suara pemilih dari berbagai latar belakang, bukan hanya Muslim.
Dalam beberapa tahun terakhir, Erdogan dinilai terus melakukan reformasi demokrasi di Turki dengan lebih melindungi hak-hak individu sipil. Salah satu dobrakkan terbesaranya yakni menempatkan militer di bawah kontrol sipil. Dulu, kekuasaan di Turki dikendalikan oleh militer. Golongan sipil tersingkir dan tak mendapat tempat.
Cuma, bukan berarti pemerintahannya dinilai steril dari jejak otoriter. Menurut pengamat politik luar negeri dari AS, Steven Cook, begitu partai Erdogan berkuasa pada 2007, banyak juga praktek pembungkaman terhadap suara oposisi pemerintah. Turki juga dikenal sebagai negara yang sering memenjarakan jurnalis dengan alasan yang masih bisa dipertanyakan.
Sejauh ini tindakan pemerintah untuk menekan demonstrasi-- dinilai berdasar kebebasan berpendapat--cukup membuat bekernyit. Salah satu bukti, saat CNN International menayangkan siaran langsung protes di Taksim Square pada Jumat, CNN Turki, jaringan yang berafiliasi dengan bahasa Turki, menyiarkan tayangan masak-memasak dan film dokumenter mengenai penguin.
Pada 2009, menteri perpajakan Turki, Dogan Yayin, sempat menaikkan pajak induk CNN Turki sebesar 2,5 miliar dolar. Kebijakan itu dipandang sebagai hukuman atas liputan yang mengkritisi pemerintah. Beberapa jurnalis CNN yang terlibat dalam liputan bernada negatif terhadap pemerintahan dipecat atau dipenjara. Berikut ini salah satu liputan CNN yang mendapat 'pembalasan' dari pemerintah.
Bisa dibilang sebagian besar rakyat Turki mengetahui tentang protes lewat media sosial. "Revolusi tidak akan ditelevisikan, aksi ini akan ditweetkan," begitu bunyi sebuah tulisan grafiti di dinding Istanbul yang menjadi populer di Twitter.
Menurut analisa Laboratorium Partisipasi Politik dan Media Sosial dari Universitas New York, hashtag Twitter, #direngezipark telah digunakan lebih dari 1,8 juta kicauan pada Senin pagi. Angka itu jauh lebih tinggi dari hashtag Mesir #Jan25 yang digunakan di seluruh revolusi di negara itu. Tak hanya itu, terhitung 85% dari twitter yang diindentifikasi secara geografi datang dari dalam Turki.
(Peta tweet Turki terkait demonstransi berdasar geocode)
Facebook juga muncul sebagai sumber utama konten demonstrasi Turki saat jurnalis warga menggunakannya untuk menayangkan rekaman video adegan saat protes. Daily Dot dari Joe Kloc mengumpulkan beberapa adegan di jalan yang sudah menyebar luas.
Senin Pagi, Erdogan menyebut media sosial "musuh terburuk dalam masyarakat" dan menyatakan alat itu telah digunakan untuk menyebarkan kebohongan mengenai peristiwa dalam demonstrasi dan tanggapan pemerintah.
Seperti juga di Mesir, selama akhir pekan, grup peretas ternama saat ini, Anonymous, meluncurkan #OpTurki, gerakan peretasan antipemerintah dan operasi DDOS yang mirip terjadi di Mesir dan negara-negara lain selama revolusi Arab terjadi.
Meski menurut analis, gerakan ini tidak bisa disebut sebagai Revolusi Arab lanjutan. Satu yang pasti, Turki bukanlah Arab, dan mereka tidak terlalu melihat nasionalitas lewat etnis atau agama. Dibandingkan dengan Tunisia, Mesir, Libya dan Suriah, Turki lebih berorientasi ke Barat, stabil, makmur dan egalitarian.
Perlu diketahui sejak 2002 hingga 2011, ekonomi Turki tumbuh tiga kali lipat. Pendapat per kapita pun kini di angka 15.000 dolar AS (dibanding Mesir yang 6.600 dolar), dan gap pendapatan pun tak terlalu mencolok bahkan bila dibandingkan Amerika Serikat.
Jadi saat ini, protes menurut analis dari Mother Jones, cenderung tidak menciptakan revolusi, melainkan sekedar menggoyang agenda politik Erdogan dan prospeknya dalam pemilu. Kudeta terakhir di Turki terjadi lebih dari 30 tahun lalu, namun dinamika kekuatan bisa berubah cepat bila Erdogan bereaksi kelewatan.
Beberapa perkembangan terkini mengenai protes di Turki tidak hanya bisa diikuti dari kantor-kantor berita, melainkan juga blog, meski pembaca harus mengecek lagi keabsahan berita dan latar belakang si penulis demi menjami akurasi dan independensi.
Beberapa sumber yang bisa dijadikan acuan yakni What Is Happening in Instanbul, yang mengeluarkan laporan termutakhir mengenai protes Turki. Lewat Twitter, hashtag paling populer yang bisa diikuti yakni #direngezipark dan #occupygezi. Juga ada laporan langsung dari Guardian, live-blogging the protest.