REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Dr Syamsul Maarif MSi menegaskan bahwa pihaknya telah mampu mengungsikan 2.628 kepala keluarga (KK) warga dari kawasan "atas" Gunung Merapi ke kawasan "bawah" Merapi.
"Tinggal 640 KK warga Merapi yang tidak mau turun, tapi kami akan terus melakukan pencerahan, karena mitigasi bencana itu bukan sekadar mengevakuasi korban bencana, tapi mengevakuasi warga untuk 'keluar' dari kawasan berpotensi bencana," katanya di Surabaya, Rabu (5/6).
Dalam pengarahan di hadapan ratusan mahasiswa Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya yang akan melakukan kuliah kerja nyata (KKN) tematik bertema "Penanganan Bencana" di Paciran Lamongan pada 24 Juni-1 Juli, ia mengatakan bencana ada dua macam yakni bencana alam dan bencana manusia.
"Bencana alam ada yang dapat diprediksi dan ada yang tidak dapat diprediksi, kalau banjir atau letusan gunung berapi itu dapat diprediksi secara laboratoris dalam beberapa hari sebelumnya, kecuali gempa yang memang di luar prediksi," katanya.
Ia mencontohkan banjir Ciliwung yang dapat diprediksi dengan mengecek ketinggian air di Katulampa, atau bencana Merapi yang dapat diprediksi dengan mengecek material yang ada pada laboratorium di UGM Yogyakarta, dan sebagainya.
Lain halnya dengan bencana manusia, karena bencana manusia adalah bencana yang disengaja oleh manusia dengan mendekati kawasan bencana, seperti masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung, masyarakat Lamongan yang tinggal di bantaran Sungai Brantas, masyarakat di kawasan Gunung Merapi, atau bencana lingkungan.
"Bencana manusia ini yang tidak sederhana, karena manusia tidak bisa dipindahkan begitu saja, misalnya mereka mau pindah kalau hewan ternak miliknya juga dipindahkan ke kandang lain, atau mereka mau pindah bila di suatu kawasan ada lapangan pekerjaan lain," katanya.
Oleh karena itu, ia menyarankan mahasiswa yang akan ber-KKN tematik di Paciran, Lamongan untuk memberi pencerahan masyarakat tentang bencana sebagai musuh. "Misalnya, bencana lingkungan menyebabkan kerugian Rp 105 triliun dalam 5-6 tahun saja," katanya.