REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Koalisi penentang utama Suriah mengulangi kembali penolakannya pada Sabtu untuk berpartisipasi dalam pembicaraan perdamaianan yang diusulkan dengan menyatakan perkembangan-perkembangan belakangan ini dalam perang saudara telah "menutup pintu" bagi inisiatif politik apa pun.
"Apa yang terjadi di Suriah hari ini menutup sepenuhnya pintu-pintu diskusi mengenai konferensi internasional dan prakarsa politik," kata Ketua Koalisi Nasional, George Sabra, dalam jumpa pers di Istanbul, Turki.
Komentarnya merujuk kepada satu prakarsa yang dipimpin Washington dan Moskow untuk membawa rezim Suriah dan kelompok-kelompok oposisi ke pembicaraan perdamaian di Jenewa.
"Perang yang diberlakukan oleh rezim itu dan para sekutunya di kawasan telah mencapai tahap yang kami tak dapat hiraukan," kata Sabra.
Dia telah mengatakan pada 30 Mei bahwa oposisi tidak akan menghadiri konferensi perdamaian sementara "Iran" dan gerakan Syiah Hizbullah dari Lebanon mendukung pasukan rezim Suriah di lapangan.
"Nyawa rakyat Suriah jauh lebih penting daripada solisi politik apapun yang akan dilakukan di konferensi internasional," katanya waktu itu.
Pasukan rezim Suriah menguasai benteng terakhir pemberontak dekat kota Qusayr, televisi negara Suriah melaporkan pada Sabtu.
Laporan itu tersiar setelah kota Qusayr, yang dikuasai pasukan pemberontak selama setahun, jatuh ke tangan angkatan darat dan pasukan gerakan Hizbullah pada Rabu.
Sabra juga menuding "Hizbullah dan para sekutunya di Suriah menghancurkan pondasi-pondasi kemanusiaan, budaya, sosial dan politik di kawasan itu yang sudah ada ribuan tahun lalu".
Ia juga menuduh Hisbullah bersama Irak dan Iran, dua negara yang mayoritas penduduknya beraliran Syiah, mendorong "konflik sektarian."
Tapi ia mengatakan oposisi akan menolak terlibat lebih jauh dengan mengatakan bahwa ini akan mengubah "nyawa kami di kawasan ke neraka."
Rezim Presiden Bashar al-Assad didominasi oleh para anggota komunitas Alawit, yang masih beraliran Syiah, sementara para pejuang yang melawan Bashar sebagian besar orang-orang beraliran Sunni.
Ketua oposisi itu juga memperingatkan bahwa pemerintah Lebanon akan mengambil tanggung jawab atas "implikasi invasi" Hizbullah, dengan mengatakan pemberontakan memiliki hak untuk membela rakyat Suriah.
Pada jumpa pers yang sama Sekretaris Jenderal Koalisi Nasional Suriah Mustafa Sabbagh mengulangi seruan-seruan bagi negara-negara pendukung pergolakan untuk mengirim senjata kepada pemberontak guna menandingi persenjataan rezim itu.
Sabbagh mengklaim bahwa koalisi yang beroposisi itu telah melakukan tindakan terbaik untuk menenangkan ketakutan-ketakutan pendukungnya atas pemasokan senjata, karena menerima "hanya janji sebagai balasan, sedikit yang dipenuhi."