REPUBLIKA.CO.ID,Siapa yang tak kenal Karen Armstrong. Penulis sejumlah buku ini cukup dikenal di Indonesia. Sejumlah karyanya menjadi referensi sejumlah mahasiswa maupun pakar agama. Penulis yang lahir 14 November 1944 di Wildmoor, Worcestershire, Inggris ini, adalah seorang pengarang, feminis dan penulis tentang agama-agama Yudaisme, Kristen, Islam dan Buddhisme.
Karya Karen Armstrong yang paling fenomenal adalah Sejarah Tuhan. Dalam bukunya itu, Karen menggambarkan bagaimana pencarian manusia untuk mencari penciptanya. Pada 1999, Pusat Islam California Selatan menghormati Armstrong, atas usahanya "mempromosikan saling pengertian antara agama-agama."
Saat kunjungannya ke Jakarta, Republika mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai Armstrong. Sikapnya yang bersahabat membuat percakapan selama dua jam ini menjadi terasa singkat.
Bertemu Republika di ambang pintu, Armstrong sudah menyungging senyum. Ia mempersilakan masuk, menyapa ramah, dan mengucapkan “How do you do?” Lalu, ia duduk di sofa putih di kamar hotel ia menginap. Perempuan Inggris ini mengisahkan konsep belas kasih yang ia dengungkan, Islam, dan dirinya kepada wartawan Republika, Ferry Kisihandi, Jumat (14/6) sore. Berikut petikannya.
Sebegitu pentingkah belas kasih bagi Anda?
Saya pikir ini merupakan hal terpenting di dunia. Ini juga menjadi ujian bagi pemeluk agama untuk menjalankannya. Di Alquran, misalnya, bertebaran ajaran yang mendorong untuk berlaku belas kasih terhadap orang lain. Di antaranya, memperlakukan orang dengan hormat, menyantuni fakir miskin, dan menciptakan masyarakat berkeadilan.
Menurut saya, ini merupakan tantangan dan kesempatan bagi semua agama. Ini juga sarana untuk membantu kita bertahan. Jika kita memperlakukan orang lain dengan buruk tentu dampaknya juga akan menimpa diri kita. Dan, kita melihat dunia sekarang mengalami hal seperti ini. Maka, sudah seharusnya kondisi semacam itu tak lagi berlangsung. Saya melihat Sang Buddha, Konfusius, dan Yesus semuanya bekerja di sebuah masyarakat yang penuh keserakahan. Tapi, mereka mampu bertahan dengan menggerakkan sikap belas kasih.
Bagaimana mempraktikkannya di tengah dunia yang sekarang sarat kekerasan dan konflik ini?
Saya akui, kini kita tinggal di tempat yang sangat terpolarisasi dan berbahaya. Tapi, pada dasarnya, kita tak bisa mengabaikan pengembangan ide belas kasih ini. Karena itu, sangat mendesak membangun kesadaran global soal ini. Lalu, membangun hubungan lebih baik dengan orang-orang yang berbeda dengan kita.
Semua sudah melihat, hampir semua musnah oleh senjata yang manusia buat. Demikian pula kalau merunut pada sejarah perang ratusan tahun silam. Itu berulang dan meletuslah perang di Afghanistan, Irak, dan sekarang terjadi di Suriah. Ini situasi berbahaya. Bila agama tak mampu tampil dengan pesan belas kasih yang ada pada ajarannya, mereka akan gagal mengatasi ini semua. Dengan demikian, mereka harus mampu. Apa yang mereka lakukan adalah untuk generasi kita sekarang.