Kamis 20 Jun 2013 15:56 WIB

Pengamat: Naikkan Harga BBM, Pemerintah Minta Rakyat Berkorban

Rep: Dyah Ratna Meta Novia/ Red: A.Syalaby Ichsan
Direktur eksekutif Economics, Industry and Trade (Econit), Hendri Saparini
Direktur eksekutif Economics, Industry and Trade (Econit), Hendri Saparini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi dari Econit Hendri Saparini mengatakan, dengan menaikkan harga BBM, pemerintah sama saja meminta rakyat berkorban.

Pemerintah meminta rakyat menyelamatkan APBN yang dianggap defisit karena banyak digunakan untuk mensubsidi harga BBM.

Namun, ujar  Hendri, BLSM yang digunakan untuk membantu rakyat miskin juga berasal dari hutang negara. Saat ini malah terdapat tambahan hutang sebesar 80 triliun. "Walaupun subsidi BBM dikurangi, APBN tetap berat bebannya,"ujarnya, Kamis (20/6)

Sebenarnya, kata Hendri, seluruh komponen di dalam masyarakat sudah digiring opininya oleh pemerintah. Pemerintah membentuk opini yang menakuti masyarakat yakni jika harga BBM tidak dinaikkan maka APBN akan jebol. 

Pengusaha mendukung kenaikan harga BBM asalkan UMK tidak naik."Maka buruh semakin tertindas perekonomiannya dengan kenaikan harga BBM ini," kata Hendri.

Selama ini, terang Hendri, selalu masyarakat yang dikambinghitamkan atas banyaknya konsumsi BBM. Padahal BBM yang diselundupkan dari kilang ke industri-industri juga banyak. "Apakah pemerintah sudah mengusut dan melakukan tindakan nyata terhadap para penyelundup BBM ini,"terangnya.

Pemerintah, kata Hendri, dengan menaikkan harga BBM sama saja membuat kebijakan yang membuat daya beli dan daya saing turun. Daya produksi di masyarakat juga turun sebab bahan-bahan untuk produksi harganya semakin mahal dan tak terjangkau. 

Kalau pemerintah mau memberikan kompensasi bagi warga miskin yang kena dampak kenaikan harga BBM, harusnya kompensasinya 100 persen. BLSM hanya senilai 150 ribu per bulan, dasar perhitungannya tidak jelas. "Padahal inflasi antara daerah yang satu dengan daerah yang lain itu beda,"kata Hendri.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement