REPUBLIKA.CO.ID -- Sya'ban dikatakan menjadi bulan sarana kontempelasi. Kaum Muslimin dapat menjadikan Sya'ban sebagai momentum evaluasi diri menjelang bertemu dengan Ramadhan.
Dai asal Papua, Ustadz M Zaaf Fadhlan Rabbani Garamathan menyatakan, apa yang dilakukan Rasulullah pada Sya'ban adalah untuk evaluasi diri.
Saatnya mengevaluasi diri, betapa sedikitnya waktu yang dimanfaatkan untuk beribadah. Terik mentari di siang hari dimanfaatkan untuk menghilangkan dahaga, bukan berpuasa. Malam selalu untuk bertiduran, bukan tahajudan. Suasana pagi bukan untuk berdhuha. Malah justru untuk berghibah.
"Semua itu harus jadi renungan betapa kita melalaikan waktu-waktu yang tepat untuk berdekatan dengan Allah," jelasnya.
Rasulullah, papar Fadhlan, menyadari harus selalu dekat dengan Allah. Terlebih lagi di Sya'ban yang jelas-jelas mendekati Ramadhan. Akan sangat sia-sia jika bulan tersebut tidak dimanfaatkan untuk membiasakan diri beribadah.
Ustaz Fadlan mengajak, mari bersihkan diri dari dosa. Jangan terus tenggelam dalam nista sehingga selalu dalam nestapa. Batin yang ada didalam setiap insan berhak bermunajat dan berdoa. "Jiwa merindukan kedekatan dengan Allah yang penuh cinta," jelasnya. Janganlah hasrat seperti itu menjadi sia-sia. Janganlah menyia-nyiakan Sya'ban hanya untuk dunia, yang penuh sandiwara dan nestapa.
Teringat akan sahabat Rasulullah yang tertulis dalam kitab-kitab salafussalih. Mereka semuanya merindukan Ramadhan sejak jauh hari. "Enam bulan sebelum Ramadhan tiba mereka tinggali. Semua hal duniawi," jelasnya. Yang menjadi fokus adalah ibadah untuk serasa dialam surgawi.
Beberapa hal dijelaskannya terkait Sya'ban. Pertama, jelas ustadz Fadlan, hindari, bahkan jauhkan dosa. Hati akan penuh dengan keraguan karena dosa. Keimanan sulit bertambah karena dosa. Kerinduan akan Ramadhan akan sirna. Ibadah jauh dari pahala. Yang ada hanya sia-sia. "Semua karena dosa. Jauhkan dia," jelasnya.
Kemudian perbanyak ibadah sunnah. Rasulullah sendiri mencontohkan untuk memaksimalkan bangun malam. Ketika sujud, Rasulullah melakukannya dengan khusyuk. Tiada lain yang ingin dicapai kecuali ridho Allah. "Rasulullah yang jelas-jelas diampuni dosanya masih melakukan itu. Kita harus bisa seperti itu," papar Fadhlan.