REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pria paru baya berkulit gelap duduk sendiri di palataran parkir rumah susun Jemundo, Sidoarjo, Jumat (21/6). Nafasnya nampak terengah-engah, terlihat dari kebulan asap roko yang keluar dari mulutnya, tak beraturan. Saya baru saja bersih-bersih," kata Abdul Wafi (58), seorang pengungsi Syiah Sampang pada Republika.
Matanya hanya tersorot ke depan, namun tatapan tersebut kosong. Wafi mengakui, tinggal di rusun lebih menyenangkan ketimbang GOR Sampang. Di sini, keamanannya terjamin, dan kebutuhan konsumsi terpenuhi.
Namun, kepala keluarga dua anak asal Bluuran itu, masih membayangkan nikmatnya berada di desa. Dia mengatakan, waktu senja ini biasanya dihabiskan waktu untuk bertani di sawah. "Kalau di GOR, kami masih bisa pulang hingga dua pekan dan menggarap ladang di desa," ujarnya.
Dia menambahkan, saat berada di rusun, sebagian besar pengungsi merasa terasing. Mereka berada jauh dari kampung halamannya. Di tempat pengungsian pun, ia perkirakan tidak akan ada aktifitas. Hari pertama di rusun Jemundo, digunakan oleh para pengungsi untuk merapikan ruangan serta teras depan pintu mereka. Hampir di setiap jendela dan balkon kamar bergantung pakaian basah yang habis dicuci.
Pengungsi lainnya, Abdul Jalil (35) merasa hidupnya digantungkan seperti jemuran. Entah sampai berapa lama mereka harus tinggal di rusun tanpa kepastian. "Saya berprofesi sebagai petani sekaligus pedagang. Saya ingin pulang," kata Jalil.
Ketimbang relokasi ke Sidoarjo, dia lebih berharap Gubernur Jawa Timur, Soekarwo bisa memulangkan mereka dan menjamin keamanannya. Dia menambahkan, keluarganya sudah cukup terancam dengan upaya penyudutan masyarakat sunni di Madura.
Lalu mengenai janji Pemprov Jatim soal pembekalan keterampilan dan lapangan pekerjaan di dunia industri, dia mengatakan, belum bisa memastikan untuk ambil peluang itu. "Itu belum ada realisasinya, saya belum bisa tentukan konsisten ke sana atau tidak," ujarnya.
Dia menjelaskan, tidak seharusnya pemindahan ini dijadikan solusi atas konflik yang menimpa aliran agamannya. Dia menyatakan, dia bersama keluarganya merupakan bagian dari masyarakat Madura, kelahiran Sampang. Selain itu, agama yang dianutnya pun sama-sama Islam, hanya beda prinsip. Sebagai minoritas, dia merasa ada diskriminasi dalam upaya penyelesaian konflik tersebut.
Kondisi pengungsi Syiah Sampang, hingga malam ini terpantau normal. Bila setibanya di lokasi rusun, Kamis (20/6) malam lalu, tercatat 15 orang menderita kurang sehat, sekarang turun menjadi delapan orang. "Kebanyakan hanya merasa kelelahan," kata petugas posko kesehatan Pipin Sugiarto.