REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Jurnalis perempuan begitu rentan terhadap kekerasan dalam menjalankan tugasnya. Kejadian perkosaan yang menimpa seorang jurnalis perempuan oleh pria tak dikenal, pada Kamis (20/6) di Jakarta Timur, menunjukkan besarnya risiko dan rentannya keselamatan jurnalis perempuan.
Dalam rilis yang diterima Republika Online, Jumat (21/6), AJI Jakarta mengutuk perkosaan yang terjadi dan menuntut pihak yang berwajib untuk mengusut tuntas dan menghukum seberat-beratnya pelaku kejahatan keji tersebut.
Selain itu, dalam rilis yang ditandatangani Ketua AJI Jakarta Umar Idris dan Koordinator Divisi Perempuan Kustiah, AJI Jakarta meminta kepada seluruh media agar memberitakan kasus tersebut dalam perspektif kepedulian terhadap korban, tanpa mengurangi esensi pemberitaan.
“Perlindungan identitas korban harus diutamakan. Jangan menuliskan nama, alamat, ciri-ciri fisik, dan hal lain yang mengarahkan kepada identitas korban tanpa persetujuan yang bersangkutan,” kata Umar.
Menurut Umar, kasus perkosaan merupakan peristiwa yang mengakibatkan korban trauma, maka penyebutan identitas dan ciri fisik korban akan mengaburkan fokus pada kejahatan yang terjadi.
AJI Jakarta juga mengimbau kepada perusahaan untuk memberikan perlindungan kepada jurnalisnya saat melakukan peliputan, khususnya pada malam hari. Perusahaan media juga perlu ikut membantu pemulihan korban dari trauma, misalnya dengan pendampingan konseling.
Kepada jurnalis perempuan, AJI Jakarta mengimbau agar senantiasa meningkatkan kewaspadaan dan menjaga keselamatan diri dalam menjalankan tugas dalam kondisi apa pun. “Sebagai jurnalis dan sebagai perempuan, risiko kekerasan yang dihadapi jurnalis perempuan menjadi berlipat,” demikian Umar Idris.