REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR menyarankan agar Kemenkominfo dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) segera melihat sektor telekomunikasi sebagai hal strategis dan berdimensi keamanan nasional. "Diperlukan regulasi ketat dan proteksi terhadap penggunaan frekuensi. Jangan pendekatannya murni bisnis korporasi," kata Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq, Sabtu (22/6).
Menurutnya, investor asing menjadi penguasa frekuensi seluler di Indonesia. Yaitu, melalui kepemilikan dominan di sejumlah operator sehingga menjurus kepada praktik oligopoli.
Secara teori persaingan usaha, oligopoli adalah kondisi pasar ketika penawaran satu jenis barang dikuasai oleh beberapa perusahaan. Umumnya jumlah perusahaan lebih dari dua tetapi kurang dari 10.
"Terjadi oligopoli frekuensi telekomunikasi di Indonesia saat ini dan sebagiannya oleh perusahaan asing," ungkap Wasekjen DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut.
Sebelumnya, marak beredar kabar Axiata tengah membidik saham dari Axis melalui anak usahanya di Indonesia, XL Axiata. Kondisi pasar Indonesia yang terlalu banyak pemain menjadikan masalah frekuensi sebagai salah satu alat untuk bersaing di masa depan. Sehingga aksi korporasi itu dilakukan Axiata demi mengembangkan XL di Indonesia.
Axis sebagai operator kelima terbesar di Indonesia sahamnya dikuasai oleh Saudi Telecom Company (STC) dari Arab Saudi dan Maxis dari Malaysia. XL sahamnya dikuasai oleh Axiata dari Malaysia.
Selain dua operator ini, Telkomsel pun sahamnya 35 persen dikuasai SingTel dari Singapura, Indosat dikuasai sebagian oleh Qatar Telecom atau Ooredoo dan Hutchison Tri Indonesia sebagian dikuasai oleh Hutchison dari Hong Kong.