REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pekosaan yang menimpa wartawati media nasional pada Kamis (20/6) malam lalu di Jalan Pramuka, Matraman, Jakarta Timur, menambah rangkaian kasus serupa di negeri ini.
Wanita, khususnya yang hidup di kota-kota besar, kerap kali menjadi korban dari kebiadaban laki-laki yang tak dapat membendung nafsunya. Hilir permasalahan memang selalu menjadi tanggung jawab aparat hukum guna menangkap dan memberikan hukuman kepada para pelaku.
Namun, menurut Kepolisian Republik Indonesia (Polri) rantai kasus perkosaan tak bisa selalu dikotakan sebagai permasalahan hukum. Mabes Polri menyatakan aksi asusila di zaman mutakhir seperti ini bisa sangat rentan terjadi.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi digital menjadi pendorong utama terjadinya tindakan perkosaan. "Akses untuk menonton film porno menjadi soal. Tak hanya Indonesia, tapi di berbagai negara pun faktor ini memang menjadi pemicu utama," kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigjen Ronny F Sompie kepada Republika di Jakarta, Senin (24/6).
Ronny berujar atas perhatian Polri selama ini terhadap kasus perkosaan, diambil kesimpulan perlu adanya aturan baru yang dapat mereduksi tindakan kriminal ini. Menurutnya, pembenahan unsur pemberian hukuman kepada pelaku perlu mendapat revisi.
Di beberapa negara, Ronny berujar kasus perkosaan yang pelakunya telah tertangkap dapat diselesaikan dengan istilah hukum Restorative Justice. Jenis proses penegakan keadilan seperti ini, menurutnya berangkat dari kesadaran bahwa wanita yang dirugikan oleh perkosaan tak sama seperti korban-korban dalam kasus lain.
Trauma, syok, perubahan mental serta sikap, umum terjadi pada para wanita korban pelecehan seksual. Melihat dampak yang diberikan oleh pelaku atas aksinya inilah, menurut Ronny, pendekatan penyelesaian kasus yang keluar dari jalur sistem hukum lazimnya perlu diberlakukan.
Restorative Justice, menurut Ronny yang bisa dijadikan solusi agar perkosaan menjadi kejahatan yang paling terhina di mata masyarakat bahkan di kalangan penjahat itu sendiri. Selain itu, dalam penyelesaian kasusnya, melalui metoda ini, korban juga tidak akan terus menerus menerima tekanan.