REPUBLIKA.CO.ID, TEPI BARAT -- Presiden Mahmoud Abbas menerima pengunduran mendadak Perdana Menteri Rami Hamdallah.
Rami yang baru saja ditunjuk selama dua pekan meninggalkan Pemerintah Palestina dalam kekacauan. Khususnya ketika Palestina sedang berfokus untuk memulai perundingan dengan Israel.
Rami Hamdallah, akademisi yang baru menjabat selama dua pekan ini tiba-tiba mundur akibat mengalami konflik dengan wakilnya. Presiden Abbas sebelumnya meminta ia mempertimbangkan kembali keputusan tersebut.
Asisten Abbas, Nabil Abu Rdeneh, mengatakan sang Presiden menerima pengunduran diri dan meminta Hamdallah tetap menjadi Kepala Pemerintahan sementara hingga penggantinya ditemukan.
Namun hingga kini Abbas belum menunjuk pengganti Hamdallah. Sehingga kemungkinan Hamdallah akan memegang pemerintahan sementara dalam waktu yang cukup lama.
Sementara itu, Abbas kemungkinan akan mencari seseorang yang direstui negara donor dari Barat. Ia juga harus mampu menangani persoalan ekonomi dan dekat dengan kelompok Fatah. Sebab, Perdana Menteri Palestina, yang lebih banyak memerintah di Tepi Barat bertanggung jawab mengurusi urusan dalam negeri itu.
Sebelumnya, Abbas menunjuk Hamdallah, seorang akademisi non partisan pada awal Juni. Langkah ini diambil karena Hamdallah yang dekat dengan Fatah sehingga dianggap melanggengkan kekuasaan. Ia menggantikan, Salam Fayyad, seorang ekonom yang mengalami konflik dengan Abbas.
Anggota Fatah pun meminta Fayyad diganti dengan alasan Perdana Menteri sepatutnya dekat dengan Fatah. Fayyad yang menjabat selama enam tahun sebagai Perdana Menteri ini didukung Barat karena dianggap pragmatis.
Pemerintah Palestina dalam upaya diplomatik untuk mencari solusi damai dengan Israel memiliki prasyarat utama. Palestina tak melanjutkan perundingan selama Israel terus mendirikan pemukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Karena wilayah tersebut diakui Palestina sebagai wilayah mereka.Sementara Israel menolak untuk menghentikan pembangunan, meski diketahui Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu menghentikan sejak awal 2013.
Wakil Abbas di kelompok Fatah mengkhawatirkan permintaan Amerika Serikat kepada Palestina menjadi tekanan politik. Bahkan jika Palestina menolak, kemungkinan mereka akan disalahkan.