REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Di Indonesia sampai saat ini pendataan kasus kanker pada anak secara populasi belum ada. Akibatnya, tidak tahu insidensi penyakit kanker anak di Indonesia dan pemerintah juga tidak tahu sama sekali bagaimana kebijakan untuk kanker anak.
"Padahal data dari ahli kanker anak di dunia, disebutkan dari tahun ke tahun kasus kanker anak meningkat satu persen," kata Dokter Spesialis Hematologi dan Kanker Anak RSUP, Dr Sardjito Eddy Supriyadi pada Republika, Senin (1/7).
Menurut dia, pasien kanker anak terutama yang dirawat di RSUP Dr Sardjito sekitar 90 persen lebih berasal dari kelurga tidak mampu. Selama ini pasien kanker anak bergantung pada Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat). "Kita tidak tahu nanti mau ke mana?" dr Edot (panggilan akrab Eddy Supriyadi) mempertanyakan.
Edot mengemukakan sebenarnya secara teoritis kasus kanker terutama pada anak tidak terpengaruh status ekonomi. Tapi kenyataan sebagian besar pasien kanker anak di RSUP Dr Sardjito terbanyak dari keluarga tidak mampu.
"Mungkin pasien kanker anak dari keluarga yang mampu berobatnya ke luar negeri. Karena di luar negeri terutama di negera maju angka kesembuhan pasien kanker lebih tinggi," ungkap dia.
Lebih lanjut, dia mengatakan yang membedakan penanganan kanker anak di Indonesia dan di luar negeri itu perawatan suportif. Padahal perawatan suportif ini mempunyai banyak peran bagi kesembuhan pasien kanker.
Dia memberi contoh, dari penelitian di kanker leukemia angka survival di Indonesia sekitar 50 persen, sedangkan di negara maju sekitar 90 persen. Dan perbedaan 40 persen angka survival kanker leukemia pada anak di Indonesia dan di luar negeri itu adalah peran dari perawatan suportif.
Namun sampai saat ini perhatian pemerintah terhadap perawatan suportif ini masih rendah. Dia memberi contoh, ketersediaan obat untuk perawatan suportif belum bisa terjamin.
"Sebetulnya ada obatnya, tetapi belum bisa mulus masuk ke Indonesia. Kadang sudah ada obat untuk perawatan suportif ada, belum tercover oleh jaminan kesehatan," tuturnya.
Yang termasuk perawatan suportif ini antara lain: ruang isolasi, kontrol infeksi, bagaimana ketersediaan ruangan, pengunjung, ketersediaan nutrisi/ makanan. pencegahan infeksi, serta bagaimana ketersediaan sarana pendukung yang lain seperti rumah singgah.
Kalau tidak ada rumah singgah, maka bila ada pasien dari luar kota misalnya dari Cilacap butuh waktu 5-6 jam untuk sampai ke RSUP Dr Sardjito. Namun kalau ada rumah singgah mestinya pasien dari luar kota yang menjalani kemoterapi, tidak perlu pulang ke rumahnya, melainkan cukup jalan 5-10 menit ke RSUP Dr Sardjito. Sehingga kalau pasien terkena infeksi, dia bisa langsung dibawa ke rumah sakit.
"Kalau pasien terkena infeksi dan di perjalanan membutuhkan waktu lama, maka multiplikasi bakterinya dalam waktu enam jam sudah satu miliar. Biasanya pasien yang menjalani kemoterapi, daya tahan tubuhnya turun, dan di sinilah peranan perawatan suportif sangat penting. Supaya tidak mudah terkena infeksi," kata dr. Edot menjelaskan.