REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Econit Advisory Group Hendri Saparini menilai besaran bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi harus dijelaskan oleh pemerintah.
Pemerintah menyalurkan BLSM senilai Rp 150 ribu per bulan per rumah tangga sasaran mulai akhir bulan lalu. "Apakah besaran itu bisa mengompensasi kenaikan harga bahan pokok? Harus dijelaskan besaran ini karena inflasi pada masing-masing daerah berbeda," ujar Hendri kepada Republika, Selasa (2/7).
Menurut Hendri, penghitungan BLSM tidak dapat menggunakan inflasi umum. Alasannya, inflasi yang dihadapi orang miskin jelas berbeda.
"Sebanyak 50 sampai 70 persen pendapatan mereka untuk bahan makanan. Sedangkan inflasi bahan makanan per tahunnya adalah 15 sampai 20 persen," kata Hendri.
Oleh karena itu, menjadi wajar apabila BLSM yang diterima oleh masyarakat tidak mampu mengompensasi kenaikan harga bahan pokok.
Kemudian dari sisi penerima, Hendri menyoroti jumlah 15,5 juta RTS atau 62 juta orang yang ditetapkan oleh pemerintah bersama parlemen. Padahal, menurut Hendri, jumlah penduduk Indonesia yang termasuk kategori rentan miskin adalah 40 persen atau sekitar 96 juta orang.
"Artinya ada orang Indonesia yang tidak terkompensasi. BLSM hanya mencakup 25 persen masyarakat miskin. Sisa 15 persennya bagaimana? ini dari sisi desain kebijakan," ujar Hendri.
Ini krusial mengingat dalam empat bulan terakhir, harga bahan pokok melonjak akibat rencana kenaikan harga BBM, pelemahan nilai tukar, memasuki musim puasa dan kenaikan harga BBM.
Berdasarkan evaluasi dari penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) pada 2005 silam, Deputi Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik Wynandin Imawan mengatakan sekitar 60 persen dari orang yang sangat miskin menggunakan dana yang didapatnya untuk melunasi utang. "Yang betul-betul dibelanjakan kira-kira 40 persen," kata Wynandin.