REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jazz selama ini masih diasosiasikan dengan musik bagi kelompok tertentu. Irama dan nada musik yang spesifik, tidak membuat semua orang bisa menikmati musik jazz. Namun pertunjukkan musim jazz yang menjadi penutup acara Dieng Culture Festival (DCF) di dataran tinggi Dieng, Ahad (30/6) malam, ternyata mampu menarik perhatian masyarakat setempat.
Diselimuti hawa dingin dengan temperatur udara di bawah 10 derajat celcius, warga dan wisatawan yang sebelumnya menyaksikan acara ruwatan potong rambut tujuh anak berambut gimbal, duduk melingkari areal seluas 200 meter persegi. Di antara penonton ada yang mengenakan jaket tebal dengan penutup kepala. Namun sebagian lainnya mengenakan sarung untuk menutupi seluruh tubuh hingga kepalanya.
Area yang menjadi lokasi grup musik jazz tampil bertempat di bawah lokasi candi Arjuna. Panitia penyelenggara tidak membuatkan panggung untuk tempat pemusik tersebut unjuk kebolehan. Alih-alih, mereka langsung berdiri di atas tanah. Seluruh perangkat sound system juga diletakkan di atas tanah. Hanya untuk memberi kesan ada pertunjukkan musik, di beberapa sudut diletakkan beberapa lampu sorot yang dapat menerangi grup band yang tampil.
"Kita memang sengaja tidak membuat panggung, agar pertunjukkan jazz ini bisa terkesan menyatu dengan penonton. Karena itu, penonton yang menyaksikan pertunjukkan tidak ada yang duduk di kursi. Semuanya duduk di atas rumput, melingkari areal pertunjukkan,"" jelas panitia penyelenggara pertunjukkan, Budhi Hermanto.
Meski pertunjukan yang dikemas dalam tajuk Jazz di Atas Awan ini terkesan sederhana, namun mampu menarik perhatian banyak pengunjung. Sejak matahari terbenam, orang-orang dengan berjaket tebal, penutup kepala dan berkerudung sarung, mulai berdatangan ke altar Candi Arjuna.
"Tajuk Jazz di Atas Awan karena lokasi pertunjukkan berada di Dieng yang berada di ketinggian 2.200 meter di atas permukaan laut. Dengan ketinggian itu, awan-awan pun berada di bawah dataran Dieng," tambah Budhi. Sekitar pukul 19.30, pertunjukkan musim itu pun dimulai. Pertunjukkan dibuka dengan kelompok musik jazz asal Banjarnegara, Teleskeblues.
Usai membawakan beberapa lagu pertunjukan dilanjutkan dengan penampilan kelompok musik Dawai The Ecthnicity dari Bandung yang memainkan perpaduan gitar, bass, dan karinding (alat musik tradisional Sunda). Penampilan musik dawai yang menyuguhkan musik intrumental ini, mampu menghipnotis penonton malam itu. Pepaduan alat musik tradisional dan modern, seperti membuat suasana di dataran tinggi Dieng terkesan mistis.
Selanjutnya, penampilan band asal Dieng, Banjarnegara (Pandawa), yang menghadirkan stile musik bossanova. Mereka juga mengajak penonton untuk ikut bernyanyi. Bahkan Wakil Bupati Banjarnegara Hadi Supeno yang ikut menyaksikan pertunjukkan itu, ikut menyumbangkan lagu Juwita Malam.
"Musik jazz adalah musik yang mentoleransi kesalahan pemusik dan vokalisnya jika melakukan kesalahan. Jadi jika vokalisnya bersuara fals atau salah nada dan syair, tentu bisa dimaafkan," katanya diikuti gelak tawa penonton.
Semakin malam, penonton semakin interaktif dengan pemusik. Gelaran jazz atas awan ditutup oleh penampilan grup band pelajar SMUN 1 Banjarnegara yang menyuguhkan beberapa lagu pop dengan irama jazz. Penonton bahkan berdiri dan ikut bernyanyi bersama sambil berkerodong sarung atau jaket.
"Melalui pertunjukkan ini, jazz juga bisa dinikmati oleh masyarakat biasa. Jazz yang sejatinya merupakan musik rakyat, mampu kembali ke khitahnya. Bukankah bunyi tetesan hujan, halilintar, gemercik air sungai juga merupakan alunan musik jazz," katanya.