REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donald Fariz mengatakan, kritik dan masukan dari masyarakat terhadap calon wakil rakyat merupakan hak publik. Proses pemilu dikatakan sebagai proses menghukum. Artinya, publik memiliki hak untuk mengoreksi wakil rakyat yang dinilai tidak benar. Tidak ada alasan juga bagi yang dilaporkan untuk menolak dikitik.
"Ketika dilaporkan harus siap, karena mereka adalah pejabat atau calon pejabat publik. Persoalan moral, apalagi status hukum pejabat publik merupakan bagian yang bisa dikritik publik," jelasnya, Kamis (4/7).
Peneliti Formappi Lucius Karus menambahkan, bila aduan masyarakat itu hanya menjadi konsumsi KPU dan parpol, dikhawatirkan tidak akan berdampak dalam peningkatan kualitas caleg. "Karena bisa saja partai melindungi calegnya. Tetapi kalau diumumkan KPU, partai setidaknya terdorong untuk betul-betul mengoreksi calon tersebut" ungkapnya.
Pengamat pemilu Lingkar Madani Indonesia (Lima), Ray Rangkuti menilai upaya KPU untuk terbuka dalam tahapan pencalonan merupakan kemajuan dibanding pemilu periode sebelumnya. Namun dia menyayangkan ketiadaan Bawaslu terkait pengawasan DCS.
Menurutnya, Bawaslu harus memiliki kajian sendiri. Karena dari 5.662 DCS, bisa dipastikan tidak semuanya diamati masyarakat. "Bawaslu antara ada dan tiada. Harusnya Bawaslu juga punya hasil penelusuran sendiri terhadap DCS yang sudah diumumkan KPU," kata Ray.