REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Pemerintah Filipina menggiatkan pemantauan untuk memastikan bahwa anak-anak tidak digunakan dalam sengketa bersenjata, kata pejabat tinggi pemerintah pada Kamis (4/7).
Menteri Kesejahteraan Sosial dan Pembangunan (DSWD), Corazon Soliman, seperti dilansir Xinhua, Jumat (5/7) mengeluarkan perintah setelah PBB baru-baru ini menyatakan Filipina termasuk di antara 22 negara pada tahun lalu mengalami konflik melibatkan prajurit anak-anak.
Menurut laporan PBB, ada 11 tercatat insiden perekrutan dan penggunaan anak-anak, yang melibatkan 23 anak laki-laki dan tiga perempuan, berusia 12 sampai 17 tahun, oleh Kelompok Abu Sayyaf (ASG), Tentara Rakyat Baru (NPA), Gerakan Pembebasan Islam Moro (MILF), dan Angkatan Bersenjata Filipina (AFP).
Soliman memerintahkan Dewan untuk Kesejahteraan Anak (KSK), sebuah lembaga DSWD, untuk menggandakan upaya dalam pemantauan kasus tersebut. "Kami sangat prihatin dengan laporan PBB ini dan kami ingin tahu apakah ada kebenaran dalam hal ini. Pemerintah ini tidak memungkinkan perekrutan prajurit anak," katanya.
CWC memimpin Tim Antar-Lembaga Pemantauan, Pelaporan dan Sistem Tanggap (MRRS), yang bertugas mengumpulkan, memvalidasi, dan memantau laporan insiden pelanggaran hak anak, dan menjamin penyediaan respon antar-instansi yang berwenang dan tepat waktu.
Untuk memperkuat MRRS, KSK menyusun sebuah perintah eksekutif yang diusulkan untuk mengadopsi kerangka kerja untuk anak dalam situasi konflik bersenjata dan mengarahkan lembaga pemerintah pusat serta unit-unit pemerintah daerah untuk melindungi anak-anak dari kekejaman pelanggaran hak anak.