REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA—Semarak kreativitas dan inovasi yang sehat dari suatu bangsa akan menentukan nasib bangsa itu di kemudian hari.
Untuk menciptakan iklim tersebut kebebasan berekspresi seorang seniman hendaknya tidak terpasung oleh apa pun, bahkan oleh tekanan pasar sekali pun.
Pernyataan itu terlontar dari Menko Perekonomian Hatta Rajasa, dalam diskusi santai yang digelar di sanggar pelukis Nasirun di Yogyakarta, Sabtu (6/7) siang.
Diskusi sendiri tercipta begitu saja, melibatkan wartawan, para seniman seni rupa Yogyakarta, serta penikmat-kurator lukisan internasional yang datang untuk menghadiri pameran seni rupa Art Jogya, yang akan dibuka Sabtu malam.
Awalnya, pelukis Nasirun hanya mengundang para kolega, kurator seni, wartawan dan berbagai kalangan yang dinilainya peduli akan seni rupa Indonesia untuk makan siang.
Hatta Rajasa, yang dikenal luas penikmat dan peduli seni lukis, serta teman Nasirun, turut diundang.
Meskipun digelar santai dan nonformal, pertemuan itu dihadiri para kurator dan pecinta seni kelas dunia. Mereka antara lain Lorenzo Rudolf, direktur Artstage Singapura dan mantan direktur pameran seni terkemuka dunia, Art Basel; Tony Ellwood, direktur National Gallery of Victoria, Australia; Kenneth Choe (Board of Advisors Singapore Art Museum), Jason Yeap (National Gallery of Victoria), Bryan Collie (Melbourne Asia Pacific Contemporary Art), selain para curator dalam negeri seperti Oei Hong Djien, Deddy Kusuma, dan sebagainya.
Menurut Hatta, kemegahan tertinggi dalam kebebasan berekspresi, salah satunya manakala seorang seniman bisa mengekspresikan sepenuhnya kehendak yang ingin ia nyatakan.
Dari sanalah kemudian jiwa-jiwa merdeka akan tumbuh dalam iklim kreatif yang membuka peluang sebesar-besarnya bagi inovasi.
“Bangsa ini tak hanya bisa menjadi besar karena semata ekonominya saja. Hanya bila seni dan budaya juga mengalami kemajuan, bangsa kita akan menjadi bangsa besar dan penuh martabat,” kata Hatta.
Karena itulah, menurut kolektor seni lukis sejak muda itu, jangan pernah ada kekuatan apa pun yang bisa melakukan tekanan, intimidasi dan pemasungan kreativitas seni warga Negara.
“Tidak sekadar mengikuti selera pasar yang didominasi karya-karya cantik tapi artifisial, melainkan lebih pada karya yang berjiwa.”Hatta mendukung penuh upaya para seniman Yogyakarta untuk menggelar Art Jog yang menurutnya unik itu.
Pasalnya, meski tidak lepas dari sisi komersial, Art Jog merupakan pameran seni yang berlangsung tanpa campur tangan galeri. “Di sini seniman menjual karyanya sendiri. Ini adalah sebuah konsep baru yang ditawarkan Art Jog,” kata pelukis Nasirun.
Sementara saat ditanya soal perkembangan Yogya sebagai kota kesenian, Lorenzo Rudof mengatakan, kalau ingin melihat perkembangan seni rupa Indonesia, memang mau tak mau harus ke Yogyakarta. “Tak mungkin bicara seni rupa Indonesia tanpa Yogyakarta,” kata Lorenzo.
Hatta sendiri selama berkeliling melihat-lihat koleksi galery Nasirun, tampak sangat menikmati. Beberapa kali ia terpaku lama di beberapa lukisan, lalu terlibat diskusi dengan Lorenzo, Nasirun maupun Oei yang berjalan bersamanya.
Perhatian Hatta sempat terpatok lama kepada sketsa karya pelukis Dullah,’Vas di Sudut Dalam Rumahku’, dan mendiskusikan pelukis terkemuka Indonesia itu beberapa lama.
Saat ditanya wartawan tentang minatnya kepada seni, menurut Hatta seharusnya suatu bangsa jangan pernah abai akan tiga hal. Pertama museum, sebagai penanda kemajuan peradaban sebuah bangsa.
Kedua gedung kesenian, sebagai cermin ketinggian cita rasa seni sekaligus sarana konektivitas antarwarga Negara. “Ketiga perpustakaan. “Tiga hal itu jangan pernah diabaikan,” kata Hatta.