REPUBLIKA.CO.ID, Masih segar dalam ingatan dunia Internasional saat keruntuhan Mantan Presiden Husni Mubarak yang digulingkan warga Mesir, kini pemimpin Mesir kembali terjungkal dan mundur ke titik nol.
Tahun 2012 silam, Mesir memulai dari nol transisi demokrasi yang dipimpin Pimpinan Dewan Militer (SCAF) Marsekal Husein Thantawi. Sebagai penyelenggara negara, SCAF sukses menggelar pesta demokrasi pemilu Majlis Shaab dan Majlis Shoura.
Selanjutnya, segera digelar pemilihan presiden. Rakyat menuntut Dewan Militer yang dipimpin oleh Husein Thantawi agar segera mengalihkan kekuasaannya kepada pemerintahan sipil. Waktu yang diberikan selambat-lambatnya hingga 30 Juni 2012.
SCAF pun memenuhi tuntutan tersebut. Pada saat itu, SCAF-lah satu-satunya pemegang amanat rakyat yang legal secara konstitusional. SCAF sebagai wujud representasi presiden itu mempunyai kekuasaan penuh atas Mesir selama presiden Mesir baru belum terpilih.
Setelah berhasil menyelenggarakan pemilu, SCAF pun secara jantan menyerahkan tampuk kepemimpinan Mesir kepada Muhammad Mursi yang terpilih secara sah.
Seiring waktu berjalan, warga Mesir yang baru menikmati era reformasi mulai mengekspresikan jiwa mereka yang dulu terkekang di era Mubarak. Termasuk keinginan sipil untuk mengikis habis seluruh hal-hal yang berbau Mubarak. SCAF pun sudah membaca hal itu.
Awal munculnya kemarahan SCAF ketika Majlis Shaab DPR menunjuk Komisi Hukum dan Perundang-undangan Mesir yang diketuai Mahmud Khudlori. Tugasnya untuk membuat rancangan undang-undang 'Isolasi Politik'. Rancangan tidak hanya sebagas rancangan, tapi secara bertahap dan berkisambungan manjadi undang-undang postif yang harus dilaksanakan oleh oleh lembaga peradilan tertinggi di Mesir.
Undang-undang 'Isolasi Politik' ini pada intinya akan mengisolasi seluruh kader-kader didikan Mubarak untuk kembali memimpin Mesir. Isolasi tersebut juga mengancam para petinggi dan pimpinan Partai Demokrat (NDP) dan orang-orang yang berafiliasi dengan Partai Demokrat sebagai pemegang status quo.
Mereka tidak boleh menduduki posisi posisi Presiden, Wakil Presiden, Perdana Menteri, Menteri, Gubernur, dll selama 10 tahun, terhitung sejak 11 Februari 2011.
Otak dan penggagas ide tersebut tak lain adalah fraksi Islamis yang diisi oleh Ikhwanul Muslimin dan FJP yang duduk di kursi Majlis Shaab (DPR). Setelah itu, Kader-kader didikan rezim Mubarak mulai menunjukkan reaksi tak bersahabat kepada Mursi.
Itulah yang ditakutkan SCAF dari awal penyerahan kekuasaan Mesir kepada Mursi. Dari awal, Dewan Militer yang dipimpinan Marsekal Thantawi tersebut memang tampak berat hati karena bak kata pepatah bak membesarkan anak harimau, suatu saat pasti ia akan menerkam tuannya.
Berat hati SCAF untuk memberikan tampuk pemerintahan kepada sipil sudah dapat terbaca jauh ketika pelaksanaan pemilu presiden. Pelaksanaan pemilu terus di ulur-ulur. Tanthawi bahkan sempat memunculkan 'Dekrit Penyempurna' yang membatasi kewenangan presiden dan menegaskan bahwa pengambil kebijakan tertinggi adalah militer.
Dekrit tersebut pada intinya mengatakan presiden hanya sebagai formalitas belaka. Siapapun yang akan memenangkan pemilu dan menjadi presiden, SCAF tetap akan menjadi penenti seluruh kebijakan Mesir.
Dekrit ini tentu saja ditolak semua pihak. Setelah Mursi menang dan tampuk pemerintahan diserahkan, Mursi langsung membatalkan dekrit ini beberapa bulan kemudian. Tak hanya itu, Mursi bahkan mencopot Marsekal Thantawi dari jabatannya, berikut beberapa pejabat militer yang dianggap kader peninggalan orde lama Mubarak.
Hampir setahun pemerintahan Mursi berjalan. Namun untuk menaklukkan militer dan kepolisian bukan hal yang mudah. Bagaimana mungkin meluluhkan pendidikan Mubarak selama 24 tahun dengan waktu satu tahun? Militer sebagai simbol kekuatan negara tetap sakti untuk ditaklukkan Mursi.
Selama menjabat presiden, Mursi sudah berusaha memperkuat militer. Bagaimana tidak, Mesir berbatasan dengan Israel yang siap menerkam. Maka salah satu alasan Mursi pergi ke Rusia adalah untuk mengadakan kerja sama di bidang kemiliteran, senjata, serta nuklir untuk listrik.
Namun hal itu tidak bisa melunakkan SCAF. Setelah hampir satu tahun menahan diri untuk bersabar, akhirnya SCAF memang tak tahan lagi dengan segala 'kepongahan' pemerintah Mursi. Sinyal-sinyal peringatan dari Militer kepada Mursi tampaknya tak lagi menjadi perhatian Mursi. Mereka tidak ingin dicampakkan Mursi begitu saja seperti Marsekal Husein Thantawi dan Letjen Samih Annan
Banyak pihak menilai, kudeta Militer atas pemerintahan Mursi merupakan balas denda' pihak militer bagi Mursi. SCAF tidak ingin kehilangan peranan pentingnya dalam eskalasi politik Mesir. SCAF masih ingin memegang pengaruh dan ditakuti, sebagaimana ia ditakuti sebagai kuantitas militer terbesar ke-7 di dunia dan nomor satu terbesar di Afrika.