REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan jawaban atas nota keberatan dari penasihat hukum Luthfi Hasan Ishaaq. Jaksa menilai isi eksepsi penasihat hukum Luthfi justru banyak berisi materi yang tidak sesuai ketentuan dalam KUHAP.
Menurut jaksa Muhibuddin, sesuai ketentuan KUHAP materi eksepsi terdiri dari tiga hal. Yakni, kewenangan pengadilan dalam mengadili perkara, dakwaan tidak dapat diterima, dan surat dakwaan harus dibatalkan. Namun dalam eksepsi yang disampaikan penasihat hukum Luthfi pada persidangan sebelumnya, justru banyak memuat materi lain. "Lebih tepat menyangkut curahan hati untuk memuaskan perasannya," kata Muhibuddin, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (8/7).
Muhibuddin menilai, curahan hati penasihat hukum Luthfi itu untuk mencari kesalahan pihak lain. Jaksa menanggapi penasihat hukum mantan presiden Partai Keadillan Sejahtera (PKS) itu yang menuding KPK melakukan sensasi media dalam pengusutan perkara. Menurut dia, KPK tidak pernah bermaksud mencari sensasi dengan pemberitaan. "Perkara terdakwa ini memang sangat menarik perhatian masyarakat," kata dia.
Apalagi, kata Muhibuddin, dalam dugaan kejadian tindak pidana, Luthfi masih selaku anggota DPR dan presiden PKS. Ia mempertanyakan pandangan penasihat hukum Luthfi yang menilai KPK telah melakukan sensasi media. Terutama dalam era keterbukaan informasi. "KPK sebagai badan publik wajib memberikan informasi," ujar dia.
Muhibuddin juga menyoroti penilaian penasihat hukum Luthfi yang dalam eksepsinya menilai ada motif lain dalam pengusutan kasus. Penasihat hukum Luthfi menilai adanya motif KPK untuk mendiskreditkan kliennya dan bahkan bertujuan menghancurkan atau merusak PKS. Penilaian itu, menurut Muhibuddin, justru telah menggiring opini seolah-olah KPK bukan memproses orang yang diduga melakukan tindak pidana. Melainkan, memproses institusi partai.
Menurut Muhibuddin, penilaian penasihat hukum Luthfi dapat menebar virus kebencian terhadap KPK. Karena menilai KPK telah menyeret kader PKS lainnya. Padahal, Muhibuddin mengatakan, pertanggungjawaban pidana diberlakukan secara individual. "Mengapa pula jika satu orang dalam partai politik diduga melakukan tindak pidana, kemudian dibangun opini seolah-olah orang lain juga ikut menanggung perbuatan tersebut," kata dia.