REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertanyakan isi nota keberatan penasihat hukum Luthfi Hasan Ishaaq (LHI). Jaksa menilai keberatan penasihat hukum seharusnya ada yang bisa ditempuh melalui proses praperadilan.
Pada persidangan, Senin (8/7) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, jaksa secara bergiliran membaca tanggapan atas eksepsi penasihat hukum Luthfi. Jaksa Muhibuddin mempertanyakan isi eksepsi yang menilai adanya pelanggaran dalam proses kasus Luthfi. Seperti dalam proses penyidikan baik atas tindakan penyitaan atau upaya paksa lainnya yang dilakukan penyidik KPK.
"Mengapa tim penasihat hukum tidak memberikan nasihat kepada terdakwa untuk menggunakan sarana praperadilan," kata dia. Dalam eksepsinya, penasihat hukum Luthfi sempat menyinggung mengenai proses penyitaan yang dilakukan penyidik KPK. Penyidik dinilai ceroboh dan terlalu bersemangat dengan menempelkan papan pemberitahuan penyitaan. Hal ini dinilai sudah menjatuhkan vonis opini bersalah terhadap Luthfi.
Jaksa membantah anggapan itu. "Jelas dalam papan pengumuman tersebut penyitaan bukan atas nama terpidana, melainkan tersangka," kata Muhibuddin. Mengenai proses penangkapan dan penahanan Luthfi, Muhibuddin, juga mengatakan sudah sesuai prosedur.
Sebelumnya tim penasihat hukum mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mempertanyakan bukti permulaan petugas KPK. Menurut Muhibuddin, penangkapan terhadap Luthfi dilakukan sehari setelah Ahmad Fathanah ditangkap dengan barang bukti uang yang diduga terkait pidana korupsi. Kemudian, penyidik KPK juga sudah menemukan kesesuian antara keterangan saksi, barang bukti, dan hasil rekaman yang menunjukkan dugaan keterlibatan Luthfi.