REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Teguh Setiawan
JAKARTA -- Koperasi Pengusaha Tahu Tempe Indonesia (Koptti) mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meninjau kembali Peraturan Presiden (Perpres) No 32 tahun 2013, memberi kewenangan Perum Bulog mengamankan harga dan menyalurkan kedelai.
"Perpres No 32 tahun 2013 itu tidak ada gunanya, karena tidak didukung seluruh menteri terkait," ujar Suharto, ketua Koptti DKI Jakarta.
Perpres itu ditetapkan SBY pada 8 Mei 2013, dan mulai berlaku pada saat diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin. Tanggal penetapan dan pengudangan sama, yaitu 8 mei 2013.
Idealnya, masih menurut Suharto, harga kedelai tetap Rp 7.450 per kilogram mulai 1 Juli 2013 dan pasokan ke pengrajin lebih lancar. "Yang terjadi justru sebaliknya. Harga lima merk kedelai naik antara Rp 7.550 sampai Rp 7.500," keluh Suharto.
Kenaikan harga ini, masih menurut Suharto, menunjukan Perum Bulog sama sekali tidak berperan, atau tidak mampu menjalankan tugas seperti diamanatkan dalam Perpres No 32 tahun 2013.
"Perpres itu tidak didukung menteri-menteri terkait; menteri perdagangan, menteri pertanian, menteri perindustrian, menteri koperasi, dan menteri keuangan," kata Suharto.
Suharto juga menyesali keengganan pemerintah mengikut-sertakan Koptti dalam penyusunan petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis) Perpres No 32 tahun 2013. Padahal, semula pemerintah akan merangkul Koptti sebagai pihak yang mengetahui fluktuasi harga kedelai di pasaran.
Sejenak melihat ke belakang, pengrajin tahun tempe kerap tercekik kenaikan harga kedelai dalam lima tahun terakhir. Sejak 2008, Koptti DKI beberapa kali menggelar demo di istana merdeka untuk mendesak presiden mengambil langkah cepat menstabilkan harga.
Tahun 2008, harga kedelai Rp 4.000. Tahun berikut harga merangkak naik menjadi Rp 5.000, dan terus sampai Rp 7.000 per kilogram. Bahkan tahun 2012 harga sempat mencapai di atas Rp 7.000, yang membuat Koptti melakukan mogok produksi.
Kenaikan terjadi setelah Perum Bulog tidak lagi memonopoli impor kedelai. Pemerintah meliberalisasi kedelai, yang menyebabkan munculnya importir-importir baru. Importir besar membentuk kartel, yang membuatnya bisa seenaknya menjual kedelai dengan harga berapa pun.
"Sebelum Perpres No 32 tahun 2013 keluar, pemerintah bikin janji-janji; memberikan subsidi dan memberikan bantuan kompor gas," kenang Suharto. "Subsidi hanya berlangsung tiga bulan. Kompor gas tak pernah datang."
Perpres No 32 tahun 2013 sempat membuat Koptti tersenyum. Pengrajin yakin intervensi presiden akan membuat harga kedelai stabil.
Koptti adalan wadah bagi 115.000 pengrajin. Setiap pengrajin mempekerjakan selima sampai 20 orang. Suharto memperkirakan terdapat sekitar Rp 1,5 juta tenga kerja yang mengantungkan hidup di industri rumahan tahu-tempe anggota Koptti.
Kebutuhan kedelai anggota Koptti per tahun mencapai 2,6 juta ton. Dari jumlah kebutuhan itu, hanya 700 ribu sampai 800 ton yang bisa disedikan petani lokal. Selebihnya, 1,8 juta ton per tahun, harus diimpor dari negara-negara benua Amerika.
"Kami terlalu berharap Perpres No 32 tahun 2013 berpihak kepada kami," ujar Suharto. "Setelah kedelai diliberalisasi, tidak akan ada pemihakan kepada pengrajin. Yang ada adalah keberpihakan pemerintah kepada importir."