REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Cina memberikan laporan mengejutkan terhadap ekspornya hingga pertengahan 2013. Ekspor negara terbesar kedua tersebut mengalami penurunan, sesuatu yang jarang sekali terjadi di Cina.
Data bea cukai menunjukkan ekspor Cina turun 3,1 persen per Juni 2013 bila dibandingkan dengan periode Juni 2012. Sementara impor Cina mengalami kontraksi 0,7 persen. Kedua hasil tersebut berada di bawah perkiraan sektor swasta yang hanya tumbuh satu digit.
Ekspansi ekonomi Cina telah melambat sepanjang tahun ini. Dan diperkirakan pelemahan ini akan berlanjut sejalan dengan pelemahan permintaan global dan upaya perbankan Cina untuk mendinginkan ledakan kredit.
"Ini secara nyata merefleksikan pelemahan permintaan," ujar ekonom HSBC Ma Xiaoping, seperti dilansir laman Fox Business, Rabu (10/7). Aturan ketat yang dikeluarkan Mei lalu untuk mencegah sistem perdagangan yang telah membawa uang panas ke negara tersebut menjadi salah satu penyebab turunnya ekspor Cina.
Lemahnya ekspor ini merupakan indikator mengecewakan lain bagi ekonomi Cina. Namun pernyataan Perdana Menteri Li Keqiang mengindikasikan pertumbuhan kali ini masih berada dalam kisaran yang dapat diterima. "Selama pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja dan indikator lain tidak tergelincir melampaui batas kami, pemerintah akan fokus pada restrukturisasi dan reformasi," ujar Li dalam sebuah pernyataan.
Ekspor Cina mengalami derita lantaran meningkatnya upah minimum dan menguatnya mata uang yuan. Di sisi lain permintaan dari negara mitra seperti Eropa dan Amerika Serikat mengalami penurunan. Ekspor ke Eropa turun 3,9 persen. Sementara ekspor ke AS melemah 1,8 persen.
Impor Cina sendiri jatuh 0,7 persen, lebih besar dari kejatuhan impor Mei, yaitu 0,3 persen. Realisasi impor ini jauh dari ekspektasi ekonom Cina yang justru memperkirakan penguatan impor hingga 5,5 persen. Hal ini menunjukkan buruknya permintaan ekonomi di Cina sendiri. Namun Cina mencatat surplus perdagangan senilai 27,13 miliar dolar AS dari Mei yang hanya 20,43 miliar dolar AS.
International Monetary Fund (IMF) menyatakan perlambatan pertumbuhan Cina merupakan sebuah risiko besar. Pasalnya negara ekonomi kedua tesar ini menjadi navigator dalam pertumbuhan konsumsi dunia. Sebuah perlambatan akan mempengaruhi komoditas ekspor seperti Australia.