REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Sejak reformasi 1998, demokrasi di Indonesia mengalami banyak kemajuan. Namun ada ekses dari kemajuan demokrasi itu, yakni Pancasila diterjemahkan secara berbeda. Ketua MPR Zulkifli Hasan mengatakan musyawarah mufakat kini dianggap tidak demokratis.
"Sekarang adalah one man one vote. Pemilihan gubernur, walikota, ketua umum partai, menjadi anggota DPR adalah dengan banyak-banyakan suara," kata Ketua MPR ketika membuka seminar yang diselenggarakan Pengurus Besar Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Perpustakaan Proklamator Bung Hatta di Bukittinggi, Sabtu (9/5).
Seminar bertema 'Peningkatan Pendidikan Umat dalam Pembentukan Karakter Bangsa Menghadapi ASEAN Community 2015' dalam rangka Milad Persatuan Tarbiyah Islamiyah ke-87 tahun. Zulkifli menjelaskan pertarungan dalam demokrasi di Indonesia diukur dari banyaknya perolehan suara.
"Demokrasi di Indonesia lebih liberal dari negeri asalnya demokrasi. (Anggota) DPR diadu, ketua umum partai diadu," ujar Zulkifli yang juga Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN).
Sehinggga, lanjutnya, terjadi persaingan, tawuran, dan lainnya. Kepentingan kelompok dan golongan menjadi utama. Pancasila intinya adalah musyawarah mufakat, kekeluargaan dan gotong royong.
"Kita telah kehilangan ruh kebangsaan," katanya.
Hal inilah yang sedang diupayakan MPR. MPR ingin meluruskan. Menurut dia, Pancasila seharusnya menjadi perilaku kita karena sudah menjadi konsensus. Intinya musyawarah mufakat, kekeluargaan dan gotong royong menjadi budaya kita. Zulkifli mengaku telah mengambil inisiatif seperti pelantikan presiden dan Rakernas PAN yang menghadirkan pimpinan Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
"Kita boleh berbeda, tapi kepentingan bangsa berada di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Kita mengembangkan politik kebangsaan. Politik bukan dalam jangka pendek, tapi jangka panjang," katanya.