REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Ketua Badan Pengkajian MPR, Bambang Sadono mengatakan, gagasan yang mengatur MPR, DPR, dan DPD dengan undang-undang terpisah sudah diamanatkan dalam UUD NRI Tahun 1945. Amanat itu seperti diatur pada Pasal 2, Pasal 19, dan Pasal 22.
Menurut Bambang, frasa 'dengan' pada UUD itu menunjukkan bahwa ketiga lembaga negara itu harus diatur dengan undang-undang terpisah. Lain dengan frasa 'dalam' yang bisa saja cukup dibuatkan dalam sebuah undang-undang apa saja.
Dengan demikian, lanjut dia, MPR, DPR, dan DPD, bukan disatukan dalam satu undang-undang seperti dalam UU MD3. "UU MD3 sudah kehilangan eksistensi sehingga perlu direvitalisasi," kata Bambang, di hadapan ratusan mahasiswa Universitas Nusa Cendana, Kupang, Nusa Tenggara Timur, dalam Seminar Nasional yang bertema 'Urgensi Pembentukan Undang-Undang Tentang MPR, DPR, dan DPD yang Diatur Secara Terpisah', Selasa (22/9).
Dalam seminar itu, Bambang menjelaskan Badan Pengkajian saat ini berkeliling ke seluruh Indonesia, untuk berdiskusi dengan berbagai komponen masyarakat untuk mendapat masukan. Karena apapun yang diputuskan oleh MPR, harus layak secara akademis dan bisa diterima secara politis.
"Badan pengkajian mempunyai tugas menyerap aspirasi dan memutuskan," ujarnya.
Ia mengungkapkan, aspirasi masyarakat yang banyak muncul adalah mengenai adanya keinginan untuk menegaskan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Juga ada keinginan dari masyarakat untuk menghidupkan GBHN. "Usulan formal soal GBHN muncul dari Forum Rektor," ungkap dia.
Bila GBHN dihidupkan kembali, maka berkonsekuensi lembaga yang membuatnya. Bila MPR ditunjuk sebagai pembuat GBHN, maka posisi MPR perlu didesain ulang. Dia juga menambahkan, saat ini DPRD sudah diatur terpisah, demikian pemerintah daerah juga diatur dalam undang-undang tersendiri.