REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Hidayat Nur Wahid menjelaskan pendidikan bela negara yang digagas Kementerian Pertahanan harus dimaknai secara kontekstual.
"Sejarah bela negara itu adalah peristiwa pada 1948 ketika Mr Syafruddin Prawiranegara yang saat itu menjabat Menteri Kemakmuran mendeklarasikan Pemerintahan Darurat RI," katanya di Semarang, Sabtu (24/10).
Hal itu diungkapkan politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut usai sosialisasi empat pilar kebangsaan yang diikuti oleh sekitar 300 anggota Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Kota Semarang. Menurut Hidayat, Syafruddin yang merupakan tokoh Masyumi itu mendeklarasikan Pemerintahan Darurat RI karena pemimpin Indonesia, yakni Soekarno dan Mohammad Hatta ketika itu ditawan oleh Belanda.
Pendeklarasian Pemerintahan Darurat RI oleh Syafruddin yang dilakukan pada 19 Desember 1948 itu kemudian ditindaklanjuti dengan penetapan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara. "Makanya, sebagaimana saya sampaikan, bela negara itu bukan wajib militer. Bukan menghadirkan semangat militerisme, wajib militer. Namun, bagaimana menghadirkan tanggung jawab cinta negara," katanya.
Dengan adanya tanggung jawab cinta negara, kata dia, memunculkan inisiatif membela negara dengan cara-cara yang dimungkinkan sesuai dengan konteks penjajahan yang tengah dihadapi Indonesia. Kalau dulu, kata dia, tantangan yang dihadapi Syafruddin adalah penjajahan Belanda, namun tantangan yang dihadapi bangsa ini sekarang adalah penjajahan asap, korupsi, pornografi, kekerasan anak, dan narkoba.
"Makanya, bela negara harus menghadirkan inisatif yang cerdas bagaimana melibatkan diri dan terlibat untuk menyelamatkan Indonesia dari penjajahan-penjajahan seperti itu," tegas Hidayat.