REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan merasakan hilangnya musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan atas berbagai persoalan bangsa dan hal itu tidak sesuai dengan amanat sila keempat Pancasila.
"Sekarang ini, ada dimana musyawarah mufakat yakni sila keempat Pancasila dan kedaulatan rakyat? Sekarang, semua persoalan sedikit-sedikit voting, bertarung dengan suara terbanyak, menang-menangan. Apakah ini sudah tepat?," katanya di Surabaya, Jatim, Jumat malam.
Ia mengemukakan hal itu saat membuka Musyawarah Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (AP HTN-HAN) di Surabaya yang diikuti oleh perwakilan pengurus asosiasi dari 28 provinsi dan dekan Fakultas Hukum dari seluruh Indonesia.
Menurut dia, kedaulatan memang ada pada tangan rakyat, namun untuk melaksanakan itu justru menimbulkan biaya yang sangat mahal. Pilkada secara langsung sebagai pelaksanaan "kedaulatan pada tangan rakyat" itu justru menimbulkan biaya sangat mahal, sehingga para calon kepala daerah mencari pemilik modal untuk membiayainya.
Selain hilangnya sila keempat Pancasila (musyawarah untuk mufakat) itu, Zulkifli juga menjelaskan sejak GBHN tidak ada lagi, bangsa Indonesia seolah tanpa arah yang jelas.
Setiap presiden, gubernur maupun bupati mempunyai visi dan misi sendiri-sendiri yang terkadang tidak saling berhubungan.
Zulkifli juga mengungkapkan berbagai persoalan ketatanegaraan seperti otonomi daerah seringkali mendorong kepala daerah justru dirasakan tidak sejalan dengan pemerintah pusat.
Pada kesempatan itu, Zulkifli meminta pendapat dan masukan para pengajar Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara apakah sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini sudah tepat dan paripurna.
"Saya titip, apakah sistem ketatanegaraan sekarang ini sudah paripurna ? Kita sekarang ini presidensiil atau parlementer ?. Bagaimana dengan otonomi daerah ?," katanya.
Persoalan hubungan antarlembaga dan sistem presidensiil yang terasa parlementer juga menjadi pertanyaan Zulkifli. Karena itu, Zulkifli meminta para pakar hukum tata negara bisa memberikan masukan untuk penyempurnaan sistem ketatanegaraan Indonesia pada masa mendatang.