REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua MPR RI Zulkifli Hasan mengatakan MPR bersikap hati-hati menyikapi usulan amandemen terbatas UUD NRI 1945 untuk menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
"Tidak sembarangan mengamandemen konstitusi, meski hampir semua parpol telah berpandangan menghidupkan kembali GBHN itu penting, tapi MPR RI tidak bisa begitu saja mengubahnya," katanya di Kemayoran, Jakarta, Jumat (4/3).
Menurutnya, usulan amandemen konstitusi harus dibicarakan kepada semua elemen masyarakat, tidak cukup hanya fraksi-fraksi di MPR RI.
Bicara konstitusi, kata dia, adalah milik seluruh bangsa Indonesia, sehingga perlu mendengar masukan dari semua pemangku kepentingan seperti lembaga negara, perguruan tinggi, organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan.
Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) itu menambahkan MPR telah membuat keputusan melalui rapat gabungan akan melakukan beberapa tahapan sebelum memproses amandemen UUD NRI 1945.
"Kalau dulu, semangat mengubah konstitusi sampai empat tahap, tapi sekarang harus sangat hati-hati," ujarnya.
Ia menjelaskan untuk memutuskan apakah usulan menghidupkan kembali GBHN itu diproses atau tidak, MPR RI akan mendengarkan masukan-masukan dari 50 perguruan tinggi di Indonesia. Sasarannya, kata dia, untuk mendapatkan masukan apakah haluan negara perlu dihidupkan lagi atau tidak.
"Kalau diperlukan, modelnya seperti apa?" ucapnya.
Zulkifli menambahkan MPR RI juga akan mengajak bicara para pakar hukum tata negara, organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Kristen, Hindu, Budha dan sebagainya. Selain itu, MPR RI juga akan menyelenggarakan seminar-seminar maupun rapat dengar pendapat untuk mendengar aspirasi rakyat.
"Nanti kalau sudah ada keputusan bahwa perlu haluan negara berikut isinya, baru akan lanjutkan pembicaraan dengan partai politik untuk melakukan tahapan selanjutnya," katanya.
Pada kesempatan tersebut, Zulkifli Hasan juga mengingatkan bahwa usulan menghidupkan kembali haluan negara itu jangan dikaitkan dengan sistem presidensiil atau parlementer karena ada kekhawatiran Indonesia akan kembali ke sistem parlementer.
"Usulan ini fokusnya hanya bagaimana Indonesia memiliki visi haluan negara, sedangkan Presiden tetap dipilih langsung oleh rakyat," tegasnya.