REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Penetapan sebuah model Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang berfungsi sebagai 'panduan ideologis' bagi pembangunan nasional dianggap sebagai kepentingan mendesak. Untuk itu, digagas adanya amandemen terbatas UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan kewenangan kembali kepada MPR untuk menetapkan haluan negara.
Pemikiran tersebut mencuat dalam acara Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan Lembaga Pengkajian MPR RI bekerjasama dengan Universitas Bung Hatta (UBH) di Hotel Rocky, Padang, belum lama ini.
Guru Besar/Ketua Program Doktor Universitas Andalas Elfindri menyoroti beberapa kelemahan sistem perencanaan pembangunan yang berlangsung sejak era reformasi. Rencana pembangunan selalu disusun berdasarkan visi dan misi kandidat saat masa kampanye pemilihan presiden.
"Visi dan misi itu lebih fokus pada perencanaan pembangunan jangka menengah, bukan jangka panjang," kata Elfindri.
Selain itu, visi dan misi itu juga disusun secara terbatas oleh tim kampanye dan tidak terlalu fokus pada bagaimana negara dibangun dalam jangka panjang. Akibatnya, lfindri, rencana-rencana pembangunan dari para presiden era reformasi kerap tidak bisa berkelanjutan.
Praktisi hukum, Boy Yendra Tamin menegaskan saat ini muncul pemikiran untuk melakukan reformulasi perencanaan pembangunan nasional menjadi satu hal yang wajar bahkan boleh dibilang mendesak. "Sulitnya koordinasi pembangunan merupakan masalah yang dihadapi pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan di bawah sistem RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang)," kata Boy.
Boy mengusulkan agar MPR kembali diberi kewenangan menyusun dan menetapkan GBHN. Dari aspek hukum ketatanegaraan, hal itu sangat memungkinkan karena MPR beranggotakan anggota DPR dan DPD yang semuanya dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu, Boy Yandri juga menjelaskan, secara implisit, MPR masih menjadi lembaga tertinggi negara karena memiliki kewenanhan menetapkan Undang-Undang Dasar.