REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota MPR dari Kelompok DPD Habib Abdurrahman Bahasyim menilai semestinya antara demokrasi dan kesejahteraan memiliki keterkaitan. Namun, kondisi tersebut belum ditemukan di Indonesia. Pascareformasi, Indonesia mengalami perkembangan proses demokrasi yang sangat cepat.
"Tetapi tingkat kesejahteraan masyarakat seolah berhenti di tempat. Buktinya, angka kemiskinan, pengangguran, dan tingkat kesejahteraan sosial, seolah tak bergerak dari tempatnya," kata Habib, saat menjadi narasumber dialog MPR rumah kebangsaan, di Perpustakaan MPR RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (6/12).
Sebaliknya, lanjut dia, pascareformasi biaya politik di Indonesia meningkat tajam. Ini terjadi salah satunya karena money politik berkembang sangat subur. Pada saat bersamaan, masyarakat juga berpikir pendek dengan menjual suaranya kepada calon yang mau memberi uang.
"Terlepas apakah calon tersebut memiliki kualitas atau tidak, punya program yang baik atau tidak," ucap Habib.
Akibatnya, lanjut dia, banyak anggota DPR hingga pimpinan daerah yang tidak berkualitas, tidak cakap dalam membangun, membuat masyarakat enggan berhubungan dengan dunia politik. Selain itu, masyarakat tidak mau bersentuhan dengan parpol, dan enggan terlibat dalam pesta demokrasi.
"Pada saat yang sama media juga terbelah sesuai aspirasi politiknya. Ini makin membosankan bagi masyarakat, dan membuat mereka makin jauh dari realitas politik," jelas dia.