Tuesday, 17 Jumadil Awwal 1446 / 19 November 2024

Tuesday, 17 Jumadil Awwal 1446 / 19 November 2024

Mahyudin: SARA Jangan Dibawa dalam Politik

Kamis 18 May 2017 21:02 WIB

Red: Budi Raharjo

Wakil Ketua MPR RI Mahyudin (kiri)

Wakil Ketua MPR RI Mahyudin (kiri)

Foto: MPR RI

REPUBLIKA.CO.ID, BANJARMASIN -- Wakil Ketua MPR RI Mahyudin mengungkapkan, Pimpinan MPR RI menangkap kegelisahan masyarakat akhir-akhir ini. Hal ini terkait potensi perpecaham bangsa yang makin meruncing dan kompleks pasca-Pilkada DKI Jakarta.

Awalnya hanya masalah perbedaan pilihan tapi lama kelamaan aroma SARA makin kentara dan terlihat jelas menjadi sumber pertikaian dan konflik terutama di dunia maya atau media sosial. Media sosial, ujar Mahyudin, menjadi sarana efektif dalam menyelipkan benih-benih permusuhan.

Mahyudin melihat fenomena sekarang sangat mengerikan dan mengkhawatirkan. Rakyat dipaksa melihat tontonan yang tidak bisa menjadi tuntunan. Rakyat dipaksa untuk memilih satu sisi dengan memusuhi sisi lain yang berbeda.

Hal tersebut diungkapkan Mahyudin di depan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Banjarmasin dalam gelar acara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI kerja sama MPR RI dengan Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Kalimantan Selatan, di aula Universitas Muhammadiyah Banjarmasin, Kamis (18/5).

Diutarakan Mahyudin, tidak ada yang mengetahui secara pasti siapa yang memulai tapi pasti ada yang mengompori terutama di media sosial. "Kita tidak tahu siapa yang membuat dan yang memulai di media sosial apakah di dalam negeri atau asing. Yang pasti sangat penuh dengan hasutan, provokasi, mengadu domba dan memecah belah," katanya.

 

Mahyudin menekankan, fenomena tersebut tidak bisa dianggap remeh. Banyak fakta yang terjadi di berbagai negara di mana peperangan saudara terjadi di negara-negara yang berkonflik seperti Irak, Mesir dan Suriah. Konflik ini menyebabkan banyak pertumpahan darah yang awalnya dari hasutan, provokasi melawan pemerintah dan ingin mengganti pemerintah. Sampai sekarang tidak pernah selesai dan makin banyak menimbulkan korban.

"Apakah hal tersebut tidak mungkin terjadi di Indonesia, itu sangat bisa terjadi jika kita tidak antisipasi sekarang. Kami pimpinan MPR merasakan keresahan rakyat tersebut. Dialog tentang kebangsaan dan Pancasila makin sering diinginkan rakyat sekarang untuk melawan potensi-potensi perpecahan bangsa," imbuhnya.

Sebenarnya, lanjut Mahyudin, rakyat Indonesia sangat mengetahui dan paham soal Pancasila tapi kadang-kadang jika tidak diingatkan akan lupa terus. Ini yang harus diingat. Indonesia adalah negara ber Pancasila bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler. Indonesia adalah negara yang wajib beragama.

"Dengan agama, rakyat Indonesia harus saling hormat menghormati sehingga terbina kerukunan hidup. Fenomena panas saat ini karena agama masuk ke ranah politik dan itu masalah. Padahal semestinya politik sangat dilarang membawa-bawa SARA," tandasnya.

  • Komentar 0

Dapatkan Update Berita Republika

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler