REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota MPR dari Fraksi PKB, Abdul Kadir Karding mengatakan kontestasi Pemilihan Presiden harus bisa menjaga kebhinnekaan. Jangan sampai persatuan dan kebhinnekaan hilang hanya gara-gara Pilpres. Karena itu, kampanye Pilpres harus dilakukan positif, tidak memprovokasi, tidak memfitnah, menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian.
“Pilpres ini harus kita jaga. Jangan sampai persatuan dan kebhinnekaan hilang hanya gara-gara Pilpres. Jangan hanya gara-gara pilihan politik yang diekspresikan berlebihan dan kontra produktif bisa mengganggu kebhinnekaan, persatuan, persaudaraan sesama anak bangsa,” kata dia, dalam diskusi Empat Pilar MPR dengan tema Menjaga Kebhinnekaan dalam Kampanye Capres', Jumat (28/9).
Abdul Kadir Karding, menyebutkan pada saat Pilkada lalu, 40 sampai 50 persen konten yang beredar di media sosial adalah hoaks. Selain hoaks, juga fitnah. Bahkan ruang keagamaan kadang dipakai untuk fitnah. “Hoaks dan fitnah itu tidak boleh terjadi kalau persatuan dan kebhinnekaan ini kita mau jaga,” katanya.
Dalam konteks Pilpres, kata Abdul Kadir Kading, kampanye dengan cara memfitnah, menyebarkan berita bohong, ujaran kebencian, provokasi, tidak sesuai dengan kebhinnekaan. Karena itu berkampenya harus diletakan pada posisi menjaga dasar Bhinneka Tunggal Ika.
Diskusi Empat Pilar MPR dengan tema Menjaga Kebhinnekaan dalam Kampanye Capres
Dalam kaitan itu, Abdul Kadir Karding menyatakan media baik media mainstream dan media sosial berperan penting. Sebab, media yang menyebarkan informasi. “Pilpres ini harus menjadi ajang edukasi politik,” ujarnya.
Anggota MPR dari Fraksi PKS Jazuli Juwaini sependapat dengan Abdul Kadir Karding. Menurut Jazuli, hoaks dan persekusi orang yang berbeda pilihan bisa merusak Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu, eksploitasi SARA juga bisa menimbulkan kegaduhan yang mengganggu kebhinnekaan.
“Kuncinya adalah kita harus mengembangkan toleransi, yaitu menghormati perbedaan-perbedaan yang ada,” katanya.
Sementara itu Ady Prayitno mengatakan bahwa UU Pemilu sudah mengatur larangan-larangan dalam kampanye. Dalam pasal 63 terdapat 11 larangan kampanye termasuk sanksi hukumnya. Misalnya, tidak boleh menghina suku dan agama tertentu, tidak boleh berkampanye di tempat-tempat ibadah, atau tempat pendidikan.
“Bagaimana menjaga kebhinnekaan dalam kampanye maka harus patuh dan taat dengan UU. Kalau aturan ini dijalankan dengan baik dan bertanggungjawab maka tidak muncul masalah dalam kampanye,” katanya.
Sedangkan untuk menciptakan kampanye yang tidak merusak kebhinnekaan, lanjut Adi Prayitno, maka diperlukan pendekatan terhadap elit-elit politik. “Elite politik ini harus dipantau. Sebab elite politik yang mengendalikan tim sukses. Elite ini bisa meredam isu-isu yang mengganggu kebhinnekaan dan mengurangi resistensi dan konflik,” ujarnya.