REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Anggota MPR dari Fraksi PKB, Mohammad Toha mengatakan reformasi mempawa perubahan kepada MPR. Sebelum UUD Tahun 1945 diamandemen, MPR memiliki kewenangan yang mutlak. Salah satu kewenangan yang dimililki itu adalah dapat memberhentikan Presiden.
"Tahun 2001, Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan oleh MPR," ujarnya saat menjadi narasumber Sosialisasi Empat Pilar MPR dengan metode training of trainer (TOT) bagi kalangan perwira menengah TNI AL, di Surabaya.
Proses pemberhentian Presiden menurut mantan Wakil Bupati Sukoharjo, Jawa Tengah, itu sekarang tak seperti dahulu. Melewati proses DPR, MK, dan MPR. Prosesnya berbelit dan panjang. "Sehingga pasca amandemen mustahil untuk bisa memberhentikan presiden," kata dia.
Dia mengatakan banyak perubahan dalam UUD Tahun 1945 pasca amandemen. Dulu anggota MPR di antaranya terdiri dari utusan daerah dan golongan. Sekarang anggota MPR dipilih oleh rakyat lewat Pemilu yang memilih anggota DPR dan DPD.
"Dengan demikian sekarang MPR lebih mencerminkan kemauan rakyat," ujar dia.
Dulu Soeharto bisa menjadi presiden berkali-kali sebab dalam UUD Tahun 1945, tidak ada batasan bagi seseorang untuk menjadi dan menjabat sebagai presiden. Menurut Mohammad Toha hal demikian sekarang tak bisa terjadi lagi.
"Konstitusi membatasi masa jabatan Presiden selama dua kali," kata dia.
Pembatasan ini dilakukan untuk mencegah munculnya pemerintahan yang otoriter. Perubahan yang terjadi dalam UUD membuat sistem tata negara Indonesia menganut sistem saling mengawasi.
"Dari vertikal hierarkhis menjadi horizontal fungsiona," ujarnya.
Perubahan yang terjadi di MPR dan sistem tata negara lainnya, menurut Mohammad Toha karena adanya gerakan reformasi oleh mahasiswa di tahun 1998. Gerakan reformasi itu di antaranya menuntut supremasi hukum dan kebebasan press.
Apa yang dikatakan oleh Mohammad Toha diperkuat oleh anggota lembaga pengkajian MPR Syamsul Bahri yang saat itu juga menjadi narasumber TOT.
Guru Besar Universitas Brawijaya itu menuturkan perubahan yang terjadi di MPR sebab anggota lembaga negara itu sendiri yang mengamputasi kewenangannya yang dimiliki. Sekarang dirasakan adanya amputasi yang tidak tepat sehingga membuat perjalanan bangsa dan negara ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Diungkapkan tak punya kewenangan lagi dari MPR untuk membuat haluan negara, GBHN, membuat pembangunan yang dilakukan mengacu pada visi dan misi Presiden. Akibat yang demikian membuat arah pembangunan berganti ketika Presidennya diganti.
Syamsul Bahri bersyukur sekarang ada keinginan dari MPR untuk melakukan amandemen yang bertujuan untuk mengembalikan MPR mempunyai kewenangan membuat GBHN. "Dalam Sidang Tahunan MPR 2018 sudah diusulkan melakukan amandemen demi haluan negara," ujar dia.
Dirinya optimis bila ada haluan negara membuat arah pembangunan bangsa ini tak ke mana-mana. Rancangan pembangunan bangsa hingga lima puluh tahun ke depan dianggap hal yang penting. Dirinya membandingkan China yang merancang pembangunan hingga 150 tahun ke depan.
Agar haluan negara itu tak kaku dan bisa menyesuaikan perkembangan jaman, dirinya mengusulkan agar haluan negara yang ada tidak terlalu teknokratis dan teknis.