REPUBLIKA.CO.ID, SUMEDANG -- Ketua Fraksi Partai Golkar di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Agun Gunandjar Sudarsa, mengakui pelaksanaan Otonomi Daerah (Otda) yang telah berjalan selama ini perlu dievaluasi. Agar tata pemerintahan ini keberadaannya bisa memperkokoh NKRI.
Dalam Seminar Nasional di Kampus IPDN, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Kamis (29/11) lalu, dirinya memaparkan ada tiga masalah yang perlu dibenahi dari Otda. Pertama, egoisme kedaerahan yang berlebihan.
"Ada yang merasa sebagai daerah paling berjasa dalam kontribusi nasional," ujarnya.
Kedua, liberalisasi ekonomi global ke daerah yang tidak terkontrol pusat. Ketiga, kebijakan pemerintah pusat yang tidak konsisten dengan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, UU Tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, UU Tentang Pemerintahan Daerah, UU Tentang Kementriaan Negara, dan UU Tentang Desa.
Seminar Nasional Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kampus IPDN, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat,
Perangkat hukum yang ada menurut pria yang akrab dipanggil Kang Agun itu diberlakukan setengah hati. "Kewenangan diberikan belum sepenuhnya disertai penyerahan alokasi anggaran," ungkapnya seperti dalam siaran pers, Sabtu (1/12).
Diungkapkan, konsep Otda dimulai awal reformasi, pascaamandemen UUD 1945 dan rampung tahun 2002. DPR dan Pemerintah pun telah mengesahkan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang di dalammya mengatur tentang desa. Selain UU. No. 32 Tahun 2004, juga ada tahun UU. No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara yang mengatur pembagian fungsi dan manajemen pemerintahan yang mendorong alokasi anggaran semakin besar ke daerah.
Meski aturan sudah ada namun pria asal Ciamis Jawa Barat, itu mengakui pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengimplementasikan aturan terkendala dengan masalah yang ada, seperti isu keberadaan raja-raja kecil di daerah, potensi separatisme, dan korupsi kepala daerah. Akibat yang demikian, menurut Agun Gunandjar, membuat alokasi APBN terus menumpuk di kementerian.
Untuk menyenangkan daerah maka dana yang dialokasikan ditransfer ke daerah baik DAU maupun DAK. DAU untuk belanja rutin dan belanja pegawai. Sedang DAK untuk pembangunan.
"DAK lebih kecil dibanding DAU", ungkapnya.
Selain DAK dan DAU, menurutnya, masih ada dana transfer daerah yang berada di kementerian. Untuk mendapat dana ini daerah wajib ikut Bimtek yang diselenggarakan di Jakarta dan wajib pula membentuk UPTD sebagai instansi pusat di daerah yang berfungsi untuk menyerap anggaran itu.
Proses yang demikian dipertanyakan Agun Gunandjar. "Mengapa tidak diserahkan saja ke provinsi, kabupaten, dan kota secara langsung?" ujarnya.
Dari sinilah maka tak perlu lagi pengadaan alat dan barang, apapun bentuknya, yang dilakukan oleh pemerintah pusat atau kementerian. Bila diserahkan ke daerah akan mampu mendorong tumbuhnya pelaku usaha yang bermuara pada terciptanya lapangan kerja dan pemerataan pembangunan serta ekonomi.
Dirinya bersyukur Pemerintahan Joko Widodo konsisten menjalankan UU. No. 6 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Desa. Disebut pemerintahan saat ini telah mengalokasikan dana desa terus meningkat. "Tahun 2005, Rp 22 triliun dan di tahun 2019 meningkat hingga Rp 70 triliun," ungkapnya.
Dari paparan di atas, Agun Gunandjar mengemukakan perlu memperhatikan tiga hal agar pelaksanaan Otda mampu memperkokoh NKRI. Pertama, hilangkan egoisme kedaerahan yang berlebihan.
Kedua, pemerintah daerah perlu berkonsultasi dan bersinergi dengan pemerintah pusat terkait masuknya kekuatan ekonomi global ke daerah yang bisa membawa nilai-nilai liberalisasi di tingkat lokal. Ketiga, pemerintah pusat harus konsisten dengan UUD dan UU terkait dengan menyerahkan kewenangan disertai anggaran ke daerah, utamanya terus meningkatkan Dana Desa sesuai UU No. 6 Tahun 2014 yang akan mencegah urbanisasi, mendorong kreatifitas, menciptakan lapangan kerja mandiri.
Menjadikan desa sebagai desa produksi dan jasa yang kelak menjadi basis awal membebaskan ketergantungan impor. Bagi Agun Gunandjar, desa kuat negara kuat, daerah maju negara maju.