REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR RI Mahyudin mengatakan institusinya belum ada rencana pembahasan wacana sepuluh kursi MPR RI periode 2019-2024 dalam Rapat Gabungan dalam beberapa waktu ke depan. Namun, dia tidak memungkiri dinamika itu bisa saja muncul saat rapat gabungan.
"Belum ada rencana pembahasan itu (10 kursi pimpinan MPR RI), namun dinamika seperti itu bisa saja nanti muncul dalam Rapat Gabungan dan sampai saat ini belum ada usulan tersebut," kata Mahyudin di sela-sela acara Jalan Sehat Empat Pilar MPR RI, di Kompleks Parlemen, Ahad (25/8).
Dia menjelaskan, beberapa waktu lalu telah disampaikan draf perubahan Tata Tertib (Tatib) MPR, terkait kursi pimpinan dari delapan menjadi lima. Menurut dia, saat ini baru dibahas di tiap fraksi dan kelompok DPD RI, nanti akan dibawa kembali dalam Rapat Gabungan MPR untuk diputuskan dalam Sidang Paripurna MPR di akhir masa jabatan MPR periode 2014-2019.
"(Penambahan 10 kursi pimpinan MPR) baru wacana, dalam UU nomor 2 tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) masih lima jumlah pimpinan MPR, jadi belum ada kemungkinan," ujarnya.
Dia mengatakan, jumlah kursi pimpinan MPR ditentukan dalam UU MD3 dan sampai saat ini belum ada pembahasan rencana perubahan UU tersebut sehingga jumlah kursi pimpinan tetap lima. Namun menurut dia, wacana yang berkembang di parlemen sifarnya dinamis, sehingga bisa saja ada kompromi seperti beberapa waktu lalu, jumlah pimpinan MPR dari lima ditambah menjadi delapan.
"Namun saat ini masih sesuai UU MD3 yaitu satu Ketua MPR dan empat wakil ketua," katanya.
Dia mengatakan, saat ini usulan perubahan dalam Tatib MPR salah satunya terkait nomenklatur lembaga kajian MPR menjadi tenaga ahli. Namun, belum disepakati karena ada beberapa yang menilai tidak perlu diubah.
Menurut dia, usulan tersebut masih berkembang di tingkat fraksi-fraksi dan kelompok DPD RI dan pimpinan MPR menunggu hasil pembahasan untuk dibawa dalam Ragab. "Itu hanya istilah namun terkadang orang salah menempatkan diri. Jadi ada perasaan kalau lembaga kajian seakan-akan itu sejajar dengan badan kajian," ujarnya.
Dia menilai tidak ada masalah terkait nomenklatur apakah lembaga kajian atau tenaga ahli, namun yang penting kinerjanya sesuai Tugas, Pokok, dan Fungsi (Tupoksi) masing-masing.