REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Ketua MPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid mengaku tak setuju dengan wacana menghidupkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) lewat amandemen UUD 1945. Ia justru mengusulkan agar mengamandemenkan UUD 1945 untuk merevisi Pasal 2 ayat 3 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Ia menjelaskan, pasal tersebut berisi bahwa segala putusan lembaganya diputuskan lewat suara terbanyak atau voting. Padahal, segala keputusan di MPR harus berdasarkan musyawarah.
“Padahal kita kan musyawarah, kalau terbanyak kan tidak musyawarah. Itu bagian-bagian yang nanti akan terus kita kaji. Tapi kuncinya UUD Hasil perubahan ini memberikan batasan yang rigid,” ujar HNW di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (20/11).
Sudah seharusnya MPR dalam melahirkan keputusan harus melalui musyawarah mufakat. Sebab, lahirnya MPR sendiri, kata HNW, lahir lewat musyawarah, bukan lewat pemungutan suara atau voting.
“Supaya segala keputusan MPR tidak seperti dalam UUD, yaitu ditetapkan dengan suara terbanyak. Seharusnya segala keputusan ditetapkan melalui musyawarah untuk mencapai kata mufakat, kecuali diperlukan voting,” ujar HNW.
Terkait GBHN, PKS sendiri tidak mendukung untuk menghidupkannya lewat amandemen UUD 1945. Menurutnya, untuk menghidupkan kembali GBHN cukup melalui undang-undang.
“Iya, memang PKS yang menyangkut tentang GBHN kami melihat bahwa untuk menghadirkan GBHN tidak harus melalui amandemen. Itu bisa melalui UU,” ujar HNW.
Wakil Ketua Majelis Syuro PKS itu mengaku bahwa pihaknya akan menjalin komunikasi dengan dua partai lain yang tak setuju untuk menghidupkan GBHN melalui amandemen, yaitu Partai Demokrat dan Partai Golkar. Sebab, melakukan hal tersebut lewat amandemen dirasa terlalu memakan banyak waktu.
“Kami akan terus komunikasi dengan Demokrat dan Golkar. Tapi kami mengusulkan justru amandemen Pasal 2 yaitu tentang MPR itu,” ujar HNW.