REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan, salah satu rencana kerja MPR RI adalah melakukan perubahan terbatas terhadap UUD NRI 1945 untuk menghadirkan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) dikaitkan dengan pembangunan sumber daya manusia dan pendidikan nasional berkelanjutan. Sebab selama ini masih terkesan bongkar pasang dan uji coba dari satu sistem kurikulum pendidikan ke sistem lainnya.
Sehingga, tenaga didik dan peserta didik tidak kewalahan menghadapi sistem pendidikan yang selama ini selalu silih berganti. Seperti misalnya keberadaan Ujian Nasional (UN) yang akan diganti sistemnya pada 2021.
Terkait penggantian UN tersebut, masih ada yang mendukung dan ada pula yang menolak. Menurut Bamsoet, tak menutup kemungkinan kebijakan ini akan berubah di masa pemerintahan tahun-tahun berikutnya.
"Tak menutup kemungkinan di periode pemerintahan selanjutnya UN akan dihidupkan kembali. Karenanya, Indonesia butuh PPHN untuk memberikan jaminan tentang sistem pendidikan nasional yang komprehensif. Sehingga kita tak maju mundur, melainkan maju terus pantang mundur," kata Bamsoet dalam keterangan resmi yang diterima Republika, Rabu (5/2).
Mengenai permasalahan seputar guru, Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini juga mengingatkan Kemendikbud mengantisipasi tingginya jumlah guru yang akan pensiun mencapai 316,5 ribu di sepanjang 2019 hingga 2023. Padahal, berdasarkan data PGRI per Agustus 2019, Indonesia masih kekurangan guru mencapai 1,1 juta orang.
"Terlebih Komisi II DPR RI bersama Kementerian PAN-RB dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) dalam Rapat Kerja pada Senin 20/1/2020 berencana menghapus tenaga honorer dari organisasi kepegawaian pemerintah, termasuk Guru honorer (non-PNS) di berbagai lembaga pendidikan. Mengingat berdasarkan Pasal 6 UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), tak ada nomenklatur Honorer," kata dia.
Bambang melanjutkan, yang bekerja di instansi pemerintah hanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Namun demikian, ia menekankan, jangan sampai penghapusan tenaga honorer tersebut membuat masalah baru. Apalagi Indonesia saat ini masih mengalami kekurangan guru.
Ia berharap pemerintah melalui Kemendikbud bisa mencari solusi terbaik bagi guru berstatus non-PNS yang jumlahnya sesuai data Kemendikbud 2020 mencapai 937.228 orang. Bambang menegaskan, pengabdian dan jasa mereka selama ini tak boleh diabaikan.
"Pemerintah bisa memanfaatkan PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajeman P3K dan peraturan perundang-undangan lainnya untuk mengangkat Guru Non-PNS menjadi P3K. Yakni para Guru Non-PNS tersebut diberikan kesempatan mengikuti seleksi tes CPNS. Jika tidak lolos, mereka diberikan kesempatan mengikuti seleksi P3K," kata dia lagi.
Sementara itu, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mendesak MPR untuk turut memperjuangkan nasib guru honorer. Ketua Umum Pengurus Besar (PB) PGRI, Unifah Rosyidi mengatakan masalah guru honorer masih belum terselesaikan.
Saat ini, ia menyebutkan berdasarkan data di data pokok pendidikan, tercatat kurang lebih tiga juta guru di Indonesia. Namun, hanya 45 persen yang terdaftar sebagai PNS.
Artinya, sebanyak 55 persennya adalah guru honorer baik K2 maupun non-K. PGRI berpendapat, masalah ini sangat serius untuk segera dicarikan solusinya. Sebab, guru honorer sudah berbakti kepada bangsa dan negara.
Ia menilai, tidak berlebihan apabila PGRI memohon agar MPR mendorong pemerintah untuk segera menuntaskan permasalahan guru honorer. PGRI berharap, para guru honorer ini bisa kemudian diputuskan diangkat sebagai PNS atau PPPK.
"Bagaimana bicara mutu, dan merdeka belajar jika masih ada guru yang dibayar sangat rendah dan tidak manusiawi?" kata Unifah.