REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta, Medan, Sumatra Utara, dinilai sebagai wujud buruknya manajemen lapas di Indonesia. Sebab, gejolak kekerasan di lapas harusnya tidak perlu terjadi bila pembinaan berjalan baik.
"Ada yang katakan manajemen lapas itu, manajemen Bismillahirrahmanirrahim. Artinya berdoa saja supaya tidak ada gejolak," kata mantan sekjen Kemenkumham, Hasanuddin Massaile dalam diskusi bertema 'Gelap Mata di Tanjung Gusta' di Jakarta, Sabtu (13/7).
Persoalan listrik padam dan kesulitan air bersih yang terjadi di Tanjung Gusta, menurut Hasanuddin hanya pemicu. Dari keresahan sejumlah kelompok di dalam lapas akan keberadaan aturan baru, PP 99/2012 yang memperketat pemberian remisi.
Kelompok yang berasal dari latar bilakang pelaku tindakpidana korupsi atau narkotika, menurutnya sangat berpengaruh. Meski jumlahnya tidak sebanyak warga binaan kejahatan biasa, pengaruh yang mereka miliki sangat besar.
Ia menyebut, kondisi fisik lapas, pelayanan dari penjaga lapas, dan sistem pembinaan, akhirnya memicu penumpukan masalah. Narapidana yang sudah tertekan secara prikologis akhirnya gampang tersulut secara emosi. Apalagi pelayanan yang diberikan kepada mereka tidak memenuhi standar minimal manusia.
"Pemerintah kasih biaya makan masih Rp 8.500 per orang, per hari. Mungkin selama bisa diterima, tapi ketika ada pemicu seperti listrik padam itu bisa bergejolak," ungkap Hasanuddin.
Sayangnya, gejolak itu tidak diantisipasi aparatur lapas, yang seharusnya sadar betul, menjaga lapas merupakan penjagaan terhadap kelompok masyarakat yang paling bawah. Mereka adalah orang yang sudah dihukum dan diadili secara hukum dan juga diadili dengan sanksi sosial masyarakat. Sehingga, gejolak kekerasan dan gangguan keamanan bisa terjadi kapan saja.