REPUBLIKA.CO.ID, November setahun lalu takdir membawa Aulia Chloridiani dan kedua anaknya mendarat di Kansai International Airport, Osaka, Jepang. Ia memutuskan menemani suaminya menempuh studi doktoral di Graduate School of Global Studies, Doshisha University, Kyoto.
Sang suami Abdul Hamid, sudah datang dua bulan lebih dulu. Mereka akan menetap di mantan ibukota Jepang ini selama tiga tahun. Konsekuensinya, wanita yang akrab dipanggil Ulil mesti cuti di luar tanggungan negara sebagai pegawai negeri sipil di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Saat ini, sudah hampir sembilan bulan mereka tinggal di Kyoto.” Anak-anak sudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Si sulung, Aya duduk di kelas dua Sekolah Dasar publik dekat rumah, tutur Ulil lewat surat elektronik yang diterima ROL.
Tahun ini adalah pertama kali mereka berpuasa di Jepang. Saat ini, Jepang sedang memasuki awal musim panas. “Pertama-tama saya pikir, ah, seberapa panasnya, sih, dibanding Indonesia. Ternyata, panaaaas banget. Mirip-mirip panas di Surabaya atau Madura deh,” tutur Ulil lewat suratnya.
Beberapa hari terakhir suhu siang hari di Kyoto bisa mencapai 37 derajat Celcius. Bedanya musim panas di Jepang dibanding Eropa misalnya, di sini selain panas, udaranya juga lembab. “Kurang lebih mirip, lah, kayak di Indonesia, seperti Madura mungkin," ujar wanita yang memang berasal dari Pulau Garam itu. "Apalagi Kyoto letaknya dikelilingi gunung-gunung, jadi udara panas kayak terperangkap di tengah kota. Sumuk banget,"
Selain gerah, siang hari saat musim panas di Jepang juga lebih panjang dibanding di Indonesia. Adzan subuh di sana sekitar pukul 3.00 pagi dan maghrib sekitar jam 19.15. Sementara Indonesia dengan jadwal shalat cenderung konstan, subuh sekitar jam 4.00 - 5.00 pagi dan maghrib 5.00-600 sore. “Kalau puasa pas musim dingin sih enak, ya, bisa sahur jam 6 pagi terus buka jam 5 sore,” tuturnya.
Meski demikian puasa selama 16 jam tak terlalu menyulitkan Ulil. Tahun lalu ia sempat berpuasa di Belanda yang malah lebih lama tiga jam. Ia merasakan meski di Belanda waktu sahur pukul 2.00 dini hari dan puasa pukul 21.00 malam namun cuaca lebih bersahabt. “Di sini cuaca agak menyiksa, benar-benar harus tahan iman dan tubuh,” ujarnya.
Rupanya dalam beberapa hari ini banyak warga Jepang yang tumbang dan dilarikan ke rumah sakit karena stroke akibat cuaca terlalu panas. Anak-anak SD termasuk Aya, tutur Ulil, selalu diingatkan oleh gurunya untuk banyak minum dan menjaga kondisinya ketika olahraga atau ketika berada di luar ruangan.
Berbicara soal puasa, si sulung rupanya juga berniat puasa penuh Ramadhan ini. Maklum, sudah dua tahun berturut-turut di Indonesia dia berhasil puasa sebelum penuh. Sebelum Ramadhan tiba, Ulil menyampaikan perihal puasa dan Ramadhan kepada guru Aya.
“Wah, sang guru, Sensei (guru dalam istilah Jepang) Yamamoto, kaget juga. Memang dia pernah dengar soal Ramadhan, tapi sepertinya baru kali ini bertemu dengan orang yang puasa betulan,” tuturnya.
“Beneran ya bisa nggak makan dan minum dari sejak matahari terbit sama matahari terbenam?” kata Ulil menuturkan sang sensei. Sampai-sampai Sensei Yamamoto datang ke rumah Ulil untuk mengobrolkan tentang rencana puasa si Aya. Sang sensei bahkan mengaku sudah meriset di internet mengenai Ramadhan dan puasa.
Ia rupanya cemas bila Aya puasa akan tumbang di sekolah. Selain karena cuaca panas ekstrem, ada kisah mengenaskan di sekolah Aya,tahun lalu ada. Murid seusia Aya meninggal ketika berenang di kolam renang sekolah. “Jadi saya paham betapa khawatirnya mereka,” tutur Ulil.
Ulil pun menyatakan anak-anak belum wajib untuk puasa. Jadi puasa ini semacam latihan buat mereka. “Sebagai orang tua, saya dan suami memang tak pernah memaksa anak untuk puasa penuh juga. Alhamdulillah mereka dapat hidayah dari Allah,” tuturnya.
Ulil pun mengatakan kepada guru-guru di sekolah Aya, bila ada jadwal olah raga atau berenang maka Aya tak perlu puasa, dia bisa makan siang di sekolah. Hanya saja bila tidak ada jadwal dengan kegiatan fisik berat, ia meminta pengertian guru-guru untuk membolehkan Aya puada di Sekolah. “Sepertinya sensei terlihat lega melihat sikap saya.” tutur Ulil.
Sensei Yamamoto malah menawarkan kepada Aya mau menghabiskan waktu di mana ketika teman-teman menyantap makan siang, apakah di perpustakaan atau di klinik sekolah. “Aya sih agak kecewa karena tidak bisa berpuasa setiap hari, tapi saya bilang toh minggu depan sudah mulai libur musim panas, jadi bisa bebas puasa selama libur," kata Ulil Lagi.
“Jangankan ke anak SD, orang Jepang juga masih heran kok kami yang orang dewasa ini bisa tidak makan selama kurang lebih dari 16 jam. Tidak haus? Tidak lapar? Tidak panas? Begitu pertanyaan mereka,” kata Uli. Ia menjelaskan puasa salah satu kewajiban dalam Islam. “Itu jawaban serius saya, kalau jawaban becanda biasanya saya bilang, ‘kan sambil diet, detoksifikasi’”
Ulil mengaku selain cuaca, suka duka lain saat berpuasa di luar negeri adalah dari atmosfer yang berbeda jauh saat Ramadhan di Indonesia. “Apalagi shalat tarawih bersama dan suasana tadarus, azan saja tak pernah kami dengar di sini. Jadi, ya Ramadhan di sini, seperti hari biasa,” tuturnya.
Dari suaminya Ia mengetahui ada jadwal shalat tarawih berjamaah di gedung Kyoto Muslim Community Association. Tapi karena waktu Isya pukul 21.00 lebih Ulil dan keluarganya memilih shalat berjamaah di rumah bersama anak-anak.
“Kami kompensasikan kerinduan akan suasana Ramadhan di Indonesia dengan selalu sholat berjamaah, dari subuh hingga isya dan tarawih, dan tadarus bareng," tuturnya.
Ulil menuturkan kadang sang suami juga memberikan ceramah singkat tentang nilai-nilai Islam. “Ya, positifnya, kedekatan diantara keluarga inti kami memang semakin terbangun. Biarpun kami jauh dari suasana Ramadhan di masyarakat, paling tidak kami membangunnya di level keluarga," ungkap Ulil.
Tentu saja makanan adalah sisi lain Ramadhan yang membuat Ulil kangen. "Pastinya tidak ada makanan seperti kolak, kolang-kaling dan gorengan," ungkapnya. Ulil yang mengaku tidak bisa memasak cuma bisa berkomentar, “ Soal ini, saya nyerah deh kalau disuruh bikin."