Indahnya Ramadhan di Italia

Red: M Irwan Ariefyanto

Selasa 16 Jul 2013 04:06 WIB

Umat Muslim di kota Napoli sedang melakukan Sembahyang berjamaah Foto: guardian Umat Muslim di kota Napoli sedang melakukan Sembahyang berjamaah

REPUBLIKA.CO.ID, ROMA –Di tengah isu rasial yang melanda Italia, kaum Muslimin masih tetap menyambut seruan iman.

Setiap hari, sekitar 80 orang Muslim berbuka puasa di Al-Manar—sebuah Islamic Center dan satu dari delapan masjid di Roma. Dan tiap malam, sekitar 300 orang Muslim dari Maroko, Tunisia, Senegal, dan Bangladesh menggelar shalat tarawih di masjid kecil ini.

Secara historis, Al-Manar adalah sebuah garasi bawah tanah yang beberapa tahun lalu nyaris ditutup karena kekurangan dana. Kalau bukan karena komitmen luar biasa seorang imam muda dari Tunisia, niscaya Al-Manar tinggal nama belaka. Abdurrazzaq, sang imam, kini menjadi pemimpin komunitas kecil ini.

Sementara tak jauh dari pusat kota Roma—hanya beberapa kilometer—terdapat Masjid Al-Huda. Tentu saja ukuran masjid ini lebih besar, setidaknya mampu menampung 800 orang jamaah shalat. Di masjid ini juga terdapat ruangan shalat untuk kaum wanita. Tiap malam, seorang imam dari Kairo menemani ibadah para jamaah dengan lantunan bacaan Alquran yang merdu.

"Dia datang tahun lalu dan saya sangat menyukainya. Dia tahu bagaimana berkomunikasi dengan mudah dan dia membantu saya merasa lebih dekat kepada Allah. Dia juga membaca Alquran dengan sangat baik. Dan ini benar-benar penting dalam shalat tarawih," kata Ahmad, pria Maroko dengan dua putri, yang tinggal di Roma sejak 1993.

Mohammad Abu Omar, Takmir Masjid Al-Huda, mengatakan selama bulan Ramadhan, terdapat sekitar 250 Muslim yang datang untuk berbuka puasa setiap harinya. "Selain itu, ada pelajaran agama, kursus membaca Alquran untuk anak-anak, dan kompetisi tradisional berhadiah setiap malam usai tarawih," ujarnya.

Selain menjadi bulan ibadah, Ramadhan juga merupakan bulan pesta untuk keluarga Muslim. Hal ini terutama berlaku dalam masyarakat non-Muslim, di mana orang-orang biasanya berkumpul untuk sarapan dan doa bersama.

Pemandangan menarik lainnya adalah membludaknya barang-barang yang memenuhi pasar Arab, di mana orang bisa mendapatkan semua jenis daging segar, jus buatan Mesir, dan aneka rempah-rempah berwarna. "Kurma dan susu langsung diimpor dari Maroko," kata salah seorang penjaga toko dengan bangga.

Demikian pula dengan supermarket. Auchan—jaringan supermarket besar Prancis—misalnya, memiliki penawaran khusus bagi umat Muslim selama bulan Ramadhan. Mereka menawarkan makanan halal termasuk daging halal dan produk-produk Islam lainnya seperti kurma.

Dengan meningkatnya kesadaran warga Italia terhadap puasa Ramadhan, kepekaan umat Muslim pun kian meningkat pula. Namun tak semua tempat di Italia menawarkan kemudahan dan keindahan bagi kaum Muslim. Jika di Riccione ada warga yang menyambut baik umat Islam untuk menunjukkan jati diri mereka, tidak demikian halnya dengan Milan.

Di kota terbesar kedua di Italia ini, terdapat sekitar 100.000 Muslim yang hingga kini tak memiliki masjid resmi. Selama dua tahun lebih mereka menggunakan gym dan lapangan sepak bola sebagai tempat ibadah. Bahkan sebagian besar mereka shalat di atas trotoar jalan yang terdapat di sejumlah masjid.

Menurut Mustafa Ahmed, mahasiswa teknik di Universitas Milan, di kota ini Lega Nord (Liga Utara) yang berkuasa. Sedang kekuatan politik moderat lainnya enggan menampakkan dukungan pada umat Islam. "Namun harus kita akui bahwa ini kesalahan kita juga. Kita tidak pernah bersuara dan membiarkan orang Italia memperlakukan kita seperti warga negara kelas dua yang tak berhak memiliki masjid," kata Ahmed kecewa.

Partai Liga Utara dikenal karena sikapnya yang anti-Muslim dan penolakannya terhadap pembangunan masjid di Italia.

Terpopuler