Selasa 16 Jul 2013 19:55 WIB

Sterilisasi Penyandang Difabel Perempuan, Picu Kontroversi

Red:
Penyandang Difabel
Penyandang Difabel

CANBERRA -- Sejumlah orang tua dari difable atau penyandang cacat perempuan mendukung praktik sterilisasi demi untuk meningkatkan kualitas hidup anak perempuan mereka.

Namun keputusan ini memicu perdebatan pro kontra di Australia.  Komisioner Anti Diskriminasi Difable Australia, Graeme Innes menolak keras praktek sterilisasi ini. Menurutnya hal tersebut melanggar HAM dan harus dilarang.

Innes meyakini sterilisasi melanggar  hak dasar manusia, karena itu bagian dari keutuhan tubuh perempuan baik dewasa maupun anak-anak penyandang cacat mental.

Ia menyatakan prosedur itu seharusnya tidak diperbolehkan lagi di Australia kecuali mereka mengetahui betul konsekwensi jika melakukan sterilisasi tersebut.

Innes mempertanyakan alasan para orang tua penyandang cacat yang menyatakan prosedur itu diperlukan semata-mata untuk kebaikan dan peningkatan kualitas hidup anak mereka.

“Kepentingan terbaik itu sangat sulit diterjemahkan karena sangat luas dan keprihatinan saya adalah  kepentingan terbaik si penyandang cacat itu sering kali diterjemahkan lewat banyak hal yang pada kenyataannya kerap melibatkan kepentingan anggota keluarga atau perawat yang mengurus mereka,” tegas innes.

Praktek sterilisasi terhadap  penyandang cacat mental perempuan ini memicu perdebatan dan akhirnya sampai ke senat.  Banyak warga Australia terkejut mengetahui kalau prosedur ini dibolehkan secara hukum.

Untuk itulah senat membentuk komisi khusus untuk menentukan apakah pedoman yang  berlaku saat  ini di Australia sudah  memenuhi kewajiban PBB untuk melindungi hak-hak penyandang cacat atau tidak.  

Secara khusus, komite ini akan mengevaluasi apakah prosedur sterilisasi  ini tidak membahayakan atau harus dilarang atau apakah ada kondisi tertentu yang memang dibolehkan berdasarkan pedoman hukum Persemakmuran.

Menurut rencana komite senat tersebut akan melaporkan temuannya besok. Dan tentu saja hasil dari temuan itu akan semakin menghangatkan perdebatan di masyarakat.

Innes  sendiri telah menyampaikan pandangannya kepada penyelidikan komisi senat  tersebut. Ia berharap komite senat akan melarang tegas praktek sterilisasi ini.

“Sterilisasi terhadap anak penyandang cacat tidak boleh terjadi atau dilakukan sama sekali,” tegasnya.

Demi kepentingan terbaik mereka

Sementara itu sejumlah orang tua dari anak  penyandang cacat mengaku prosedur ini tetap diperlukan demi kepentingan dan untuk meningkatkan kualitas hidup anak mereka.

Louise Robbins sadar betul betapa sulitnya keputusan untuk mensterilisasi anaknya Eliza, 16, yang  lahir dengan keterbelakangan mental.

Ketika Eliza mulai menstruasi 4 tahun lalu, keluarganya tidak siap untuk menambah kesulitan dalam merawatnya.

Eliza menjadi  sangat stres setiap datang bulan, bahkan dia selalu mencoba menghentikan darah yang mengalir dan kerap berada pada situasi yang memalukan ketika Eliza berusaha menyingkirkan pembalutnya di publik.

Keluarga Eliza berpikir untuk menggunakan kontrasepsi untuk mengatasi datang bulan anaknya, tapi Eliza tidak bisa menelan obat dan juga tidak bisa menggunakan implant karena kondisi imunitasnya.

Akhirnya Louise Robbins dan keluarganya meyakini sterilisasi sebagai satu-satunya opsi yang  bisa mereka tempuh.

Ia mengatakan anaknya tidak bisa mengerti prosedur sterilisasi yang akan dilakukan terhadap tubuhnya karena dia bahkan tidak mengerti cara mandi.

"Eliza tidak paham soal 38 prosedur anestesi yang akan dia alami, tapi semua itu dilakukan untuk kebaikan Eliza sendiri,” kata Robbins.

"Keputusan kami untuk melakukan hysterectomy murni untuk mengatasi masalah bulanan Eliza. Ini bukan karena saya tidak nyaman, saya tetap bersedia mengganti pembalut Eliza sepanjang hidup saya,” tutur Robbins menanggapi tudingan terhadap keputusannya.

Seperti halnya Eliza, masa pubertas yang memicu masalah signifikan juga dialami Sophie Carter

Keluarganya sudah mencoba mengajarkan Sophie bagaimana menggunakan pembalut, tapi tidak berhasil. Mereka juga sudah mencoba pil kontrasepsi tapi tetap tidak berhasil juga.

Akhirnya sepuluh tahun lalu Sophie menjalani operasi sterilisasi, setelah pengadilan di New South Wales memutuskan prosedur itu memang untuk kebaikan Sophie.

Orang tua Sophie mengaku itu bukan keputusan yang mudah.

“Kedengarannya kami memang melakukan hal yang buruk terhadap anak saya, tapi sesungguhnya itu kita lakukan karena kami sayang dia dan kami ingin yang terbaik untuk Sophie,” Merren Carter ibu Sophie bercerita.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement