CANBERRA -- Sejumlah orang tua dari difable atau penyandang cacat perempuan mendukung praktik sterilisasi demi untuk meningkatkan kualitas hidup anak perempuan mereka.
Namun keputusan ini memicu perdebatan pro kontra di Australia. Komisioner Anti Diskriminasi Difable Australia, Graeme Innes menolak keras praktek sterilisasi ini. Menurutnya hal tersebut melanggar HAM dan harus dilarang.
Innes meyakini sterilisasi melanggar hak dasar manusia, karena itu bagian dari keutuhan tubuh perempuan baik dewasa maupun anak-anak penyandang cacat mental.
Ia menyatakan prosedur itu seharusnya tidak diperbolehkan lagi di Australia kecuali mereka mengetahui betul konsekwensi jika melakukan sterilisasi tersebut.
Innes mempertanyakan alasan para orang tua penyandang cacat yang menyatakan prosedur itu diperlukan semata-mata untuk kebaikan dan peningkatan kualitas hidup anak mereka.
“Kepentingan terbaik itu sangat sulit diterjemahkan karena sangat luas dan keprihatinan saya adalah kepentingan terbaik si penyandang cacat itu sering kali diterjemahkan lewat banyak hal yang pada kenyataannya kerap melibatkan kepentingan anggota keluarga atau perawat yang mengurus mereka,” tegas innes.
Praktek sterilisasi terhadap penyandang cacat mental perempuan ini memicu perdebatan dan akhirnya sampai ke senat. Banyak warga Australia terkejut mengetahui kalau prosedur ini dibolehkan secara hukum.
Untuk itulah senat membentuk komisi khusus untuk menentukan apakah pedoman yang berlaku saat ini di Australia sudah memenuhi kewajiban PBB untuk melindungi hak-hak penyandang cacat atau tidak.
Secara khusus, komite ini akan mengevaluasi apakah prosedur sterilisasi ini tidak membahayakan atau harus dilarang atau apakah ada kondisi tertentu yang memang dibolehkan berdasarkan pedoman hukum Persemakmuran.
Menurut rencana komite senat tersebut akan melaporkan temuannya besok. Dan tentu saja hasil dari temuan itu akan semakin menghangatkan perdebatan di masyarakat.
Innes sendiri telah menyampaikan pandangannya kepada penyelidikan komisi senat tersebut. Ia berharap komite senat akan melarang tegas praktek sterilisasi ini.
“Sterilisasi terhadap anak penyandang cacat tidak boleh terjadi atau dilakukan sama sekali,” tegasnya.
Demi kepentingan terbaik mereka
Sementara itu sejumlah orang tua dari anak penyandang cacat mengaku prosedur ini tetap diperlukan demi kepentingan dan untuk meningkatkan kualitas hidup anak mereka.
Louise Robbins sadar betul betapa sulitnya keputusan untuk mensterilisasi anaknya Eliza, 16, yang lahir dengan keterbelakangan mental.
Ketika Eliza mulai menstruasi 4 tahun lalu, keluarganya tidak siap untuk menambah kesulitan dalam merawatnya.
Eliza menjadi sangat stres setiap datang bulan, bahkan dia selalu mencoba menghentikan darah yang mengalir dan kerap berada pada situasi yang memalukan ketika Eliza berusaha menyingkirkan pembalutnya di publik.
Keluarga Eliza berpikir untuk menggunakan kontrasepsi untuk mengatasi datang bulan anaknya, tapi Eliza tidak bisa menelan obat dan juga tidak bisa menggunakan implant karena kondisi imunitasnya.
Akhirnya Louise Robbins dan keluarganya meyakini sterilisasi sebagai satu-satunya opsi yang bisa mereka tempuh.
Ia mengatakan anaknya tidak bisa mengerti prosedur sterilisasi yang akan dilakukan terhadap tubuhnya karena dia bahkan tidak mengerti cara mandi.
"Eliza tidak paham soal 38 prosedur anestesi yang akan dia alami, tapi semua itu dilakukan untuk kebaikan Eliza sendiri,” kata Robbins.
"Keputusan kami untuk melakukan hysterectomy murni untuk mengatasi masalah bulanan Eliza. Ini bukan karena saya tidak nyaman, saya tetap bersedia mengganti pembalut Eliza sepanjang hidup saya,” tutur Robbins menanggapi tudingan terhadap keputusannya.
Seperti halnya Eliza, masa pubertas yang memicu masalah signifikan juga dialami Sophie Carter
Keluarganya sudah mencoba mengajarkan Sophie bagaimana menggunakan pembalut, tapi tidak berhasil. Mereka juga sudah mencoba pil kontrasepsi tapi tetap tidak berhasil juga.
Akhirnya sepuluh tahun lalu Sophie menjalani operasi sterilisasi, setelah pengadilan di New South Wales memutuskan prosedur itu memang untuk kebaikan Sophie.
Orang tua Sophie mengaku itu bukan keputusan yang mudah.
“Kedengarannya kami memang melakukan hal yang buruk terhadap anak saya, tapi sesungguhnya itu kita lakukan karena kami sayang dia dan kami ingin yang terbaik untuk Sophie,” Merren Carter ibu Sophie bercerita.