Selasa 16 Jul 2013 22:55 WIB

Politikus 'Kutu Loncat' Rugikan Diri Sendiri dan Parpol

Parpol/ilustrasi
Foto: antara
Parpol/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Analis komunikasi politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Triyonno Lukmantoro menilai, politikus 'kutu loncat' atau kerap berpindah-pindah partai politik, justru merugikan dirinya sendiri.

"Memang, di parpol barunya politikus itu akan mendapatkan posisi yang lebih tinggi dibanding parpol sebelumnya, tetapi masyarakat bisa menilai perilaku politikus itu," katanya di Semarang, Selasa (16/7).

Menurutnya, politikus perlu membangun komunikasi politik secara intens dengan konstituennya yang harus dilakukan secara berkelanjutan. Sehingga perpindahan parpol menjadikannya harus membangun kembali dari awal.

Ia menjelaskan, setiap parpol tentunya memiliki konstituen atau massa yang khas dan membedakan antarparpol, terutama kader-kader fanatik yang tidak bisa dibangunkan komunikasi dalam waktu singkat.

"Jujur saja, di Indonesia hampir tidak ada memang kader-kader parpol yang sedemikian fanatik. Namun, jangan lupa bahwa masyarakat sekarang cukup cerdas untuk menilai integritas para politikus," tuturnya.

Seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, masyarakat bisa mengetahui dengan mudah ketika ada politikus pindah parpol dan politikus yang kerap berpindah parpol atau 'kutu loncat'.

"Citra politikus yang kerap melakukan perpindahan parpol atau saya lebih menyebutnya dengan 'migrasi politik' justru turun. Masyarakat akan menilai politikus itu sebagai orang yang oportunis," katanya.

Di sisi lain, kehadiran politikus yang sudah dicap masyarakat sebagai 'kutu loncat' justru merugikan parpol yang ditempatinya. Bahkan, ia menyebut bisa memengaruhi tingkat kepercayaan para konstituen parpol.

Pengajar FISIP Undip itu mengakui dalam batasan tertentu perpindahan parpol yang dilakukan politikus memang wajar. Sebab, ada faktor pendorong dan penarik yang menjadi penyebab politikus bermigrasi politik.

"Faktor pendorong berasal dari partai sebelumnya, salah satunya pemberian 'reward and punishment' yang tidak adil. Kader yang sudah sekian lama mengabdi tak mendapatkan jabatan, tidak dapat promosi," katanya.

Faktor penarik berasal dari luar, termasuk parpol lain, seperti menjanjikan posisi yang lebih tinggi jika mau masuk ke parpolnya, atau diberikan tempat sebagai calon anggota legislatif (caleg).

"Wajar jika orang yang sudah sekian lama mengabdi di suatu parpol tak kunjung dapat promosi pindah ke parpol lain, misalnya. Beda dengan politikus 'kutu loncat' yang sering pindah parpol," kata Triyono.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement