Selasa 23 Jul 2013 15:32 WIB

Jangan Andalkan Impor, Indonesia Harus Bangun Cadangan Pangan

Rep: Meiliani Fauziah/ Red: Nidia Zuraya
Stok Pangan (Ilustrasi)
Foto: BERITA JAKARTA
Stok Pangan (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah tak harus mengandalkan impor untuk membangun ketahanan pangan. Impor harus tetap menjadi solusi akhir untuk menambal kebutuhan  sesuai amanat Undang-undangan pangan. Yang terjadi kemudian, pemerintah seolah mengimpor bahan pangan secara berturut-turut. Mulai dari daging, cabai, bawang dan yang sudah terlihat sinyalnya, kentang.

Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian (Kementan)  Achmad Suryana menyatakan pemerintah tetap menempatkan impor sebagai solusi akhir. Komoditas bawang misalnya, impor dibuka karena faktor mundurnya masa panen. "Panen besar baru nanti, dua minggu setelah Lebaran," katanya ditemui di kantor Kementerian Pertanian (Kementan), Selasa (23/7).

Sikap yang sama juga dikenai pada sapi. Apabila pemerintah telah berhasil menurunkan harga seperti intruksi presiden, maka importasi akan kembali ke pola lama. Hasil dari terlibatnya Bulog menurut dia sudah mulai terasa. Harga perlahan turun meskipun masih tinggi dibandingkan tahun lalu.

Tugas selanjutnya yaitu membangun cadangan pangan untuk masing-masing komoditas strategis. Namun yang baru terlaksana terbatas untuk komoditas beras saja. BKP sudah meminta agar setiap daerah menetapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk dipenuhi. Provinsi harus memiliki cadangan beras sendiri dengan APBD yang dikelola di daerah provinsi dan kabupaten kota. Hal ini sudah terlaksana di Kalimantan Barat, Jawa Barat , Jawa Tengah dan sejumlah kabupaten lain.

Ia juga menyoroti kebutuhan untuk menyimpan cadangan tersebut berupa gudang berpendingin (cold storage). Cold storage bisa untuk menyimpan komoditas apapun termasuk beras, daging, sapi, jagung dan kedelai. Di Jawa Tengah misalnya, cold storage digunakan untuk meyimpan cadangan jagung konsumsi. "Kalau kondisi paceklik, cadangan ini yang digelontorkan," ujarnya.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), komoditas pangan kerap dilaporkan dalam kondisi cukup. Tahun ini, pangan-pangan pokok seperti beras, jagung dan bawang merah menurut data BPS bahkan berlebih. "Tapi kenapa harga naik? Itu ada banyak faktornya," kata dia.

Logistik menjadi faktor pertama penyebab harga tinggi. Tersendatnya distribusi dari sentra produksi membuat pasokan terlihat kurang. Angka surplus yang tertera  merupakan penjumlahan hasil produksi dari Aceh hingga Papua. Sementara permintaan tertinggi datang dari Pulau Jawa dan DKI Jakarta.

Selanjutnya keberadaan pedagang yang kerap menguji pasar. Pedagang, menurut dia, melakukan uji coba dengan menaikkan harga sedikiti-demi sedikit. Mereka akan mencermati sampai dimana konsumen akan menerima kenaikan harga. Apabila konsumen dilihat tak tertarik membeli, maka harga akan turun. "Kalau rasanya respon masih laku, terus dinaikkan," kata dia.

Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) pun ikut mempengaruhi harga. Pedagang terlanjur berekspektasi bahwa konsumen akan maklum dengan kenaikan harga. Akhirnya banyak yang telah menaikkan harga sejak awal tahun. Terakhir, pedagang juga ingin Tunjangan Hari Raya (THR). "Mereka lalu mencari THR dengan menaikkan harga," katanya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement