REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR, Deding Ishak, mengusulkan agar pemerintah memberikan tindakan tegas, yakni membekukan sementara kegiatan organisasi kemasyarakatan (ormas) yang melakukan tindakan kekerasan.
"UU Ormas yang baru disetujui DPR RI sudah mengantisipasi tindakan anarkis yang dilakukan ormas. Namun, karena UU Ormas ini masih dalam proses pengesahan oleh Presiden, sehingga belum bisa langsung operasional," kata Deding Ishak pada diskusi "Forum Legislasi: UU Ormas" di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (23/7).
Pembicara lainnya pada diskusi tersebut adalah Dirjen Kesbangpol Kemendari Tanribali Lamo, Dirjen Perundang-undangan Kemenkum HAM Wahiduddin Adams, dan Direktur Sosbud dan Organisasi Negara Berkembang Kemenlu Arco Ananto.
Menurut Deding Ishak, UU Ormas yang baru disetujui DPR pada 2 Juli lalu, baru bisa operasional setelah ditandatangani oleh Presiden atau setelah 30 hari sejak disetujui oleh DPR. "Jika setelah diberikan sanksi pembekuan operasi sementara masih melakukan tindakan anarkis, maka berikutnya agar diusulkan untuk diproses melalui pengadilan," katanya.
Politisi Partai Golkar ini menambahkan, UU Ormas bisa efektif atau tidak dalam implementasinya tergantung pada tindakan kementerian terkait, aparat penegak hukum, maupun Ormasnya. Pasal-pasal dalam UU Ormas, menurut Deding, ada yang langsung bisa operasional dan ada yang pelu dukungan dari peraturan pemerintah (PP).
Sementara itu, Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri (Kesbangpol Kemendagri), Tanribali Lamo mengatakan, UU Ormas yang baru disetujui DPR, untuk sementara belum bisa diterapkan untuk memberikan sanksi terhadap aksi kekerasan oleh Ormas, seperti yang terjadi di Kendal, Jawa Tengah.
Penanganan aksi kekerasan yang dilakukan oleh Ormas di Kendal, Jawa Tengah, menurut dia, masih menggunakan UU No 8 tahun 1985 tentang Ormas. UU Ormas, kata dia, baru bisa operasional setelah ditandatangani oleh Presiden atau setelah 30 hari sejak disetujui oleh DPR.