Senin 29 Jul 2013 11:56 WIB

SBY Belum Ambil Sikap Soal Penyadapan Australia

Rep: Esthi Maharani/ Red: Karta Raharja Ucu
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
Foto: energitoday.com
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden SBY dilaporkan sudah mengetahui jika ia disadap Australia dengan bantuan intelijen Amerika Serikat dan Inggris, saat menghadiri KTT G20 untuk pertama kalinya di London, Inggris pada 2009 lalu.

Kabar itu disampaikan staf khusus presiden bidang hubungan internasional, Teuku Faizasyah. Ia mengatakan Presiden SBY sudah mengetahui adanya sinyalemen tersebut. "Tapi apa reaksinya belum kami ketahui," katanya, Selasa (29/7).

Pemerintah harus melihat sejauh mana derajat kerugian informasi yang disadap Australia. Menurutnya, BIN bisa ikut mencari tahu kemungkinan tersebut, meskipun Faiz sendiri pesimis negara yang bersangkutan akan mengakui perbuatannya.

“Hubungan antarnegara kan banyak spektrumnya, kalau hal-hal seperti ini mekanismenya nanti kita lihatlah apa secara tertutup melalui dinas intelijen kedua negara. Kita lihat saja sejauh mana derajat dari kerugian informasi," katanya.

Yang jelas, lanjutnya, tindakan penyadapan dari segi etika hubungan antar-negara seharusnya dihindari. Informasi bisa didapatkan melalui mekanisme dan cara yang wajar dalam hubungan antarnegara.

Untuk diketahui, dua media Australia yakni The Age dan The Sydney Morning Herald memberitakan rombongan Presiden SBY disadap saat menghadiri KTT G20 di London, Inggris pada 2009. Penyadapan dilakukan intelijen Amerika Serikat dan Inggris meskipun hasilnya dinikmati Australia.

"PM Kevin Rudd menerima keuntungan dari kegiatan mata-mata Inggris pada Presiden SBY pada KTT G20 tahun 2009 di London. PM Rudd memiliki keinginan yang besar akan informasi intelijen, terutama pada pemimpin Asia Pasifik, Yudhoyono, Manmohan Singh (PM India) dan Hu Jintao (mantan Presiden Cina," kata sumber anonim dari intelijen Australia.

Hasil penyadapan itu digunakan untuk mendukung tujuan diplomatik Australia, termasuk dukungan untuk memenangkan kursi di Dewan Keamanan PBB. "Tanpa dukungan intelijen yang diberikan AS, kami tak akan memenangkan kursi itu," kata pejabat di Departemen Luar Negeri dan Perdagangan yang tak mau disebutkan namanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement