REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi I DPRRI dari Fraksi PPP Saifullah Tamliha mengatakan, pemerintah harus tegas menyikapi kasus dugaan penyadapan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dia pun menjelaskan, kasus penyadapan juga pernah terjadi saat almarhum Jendral Soeharto menjabat sebagai presiden. Ketika itu, pengawal 'Pak Harto' bahkan berani berhadap-hadapan langsung dengan pengawal dari negara lain yang diduga ingin menyadap.
"Begitu Soeharto keluar dari lift, pengawal Presiden Soeharto todong-todongan pistol dengan pengawal pemimpin Israel seolah ada salah paham yang terjadi," katanya, di Jakarta, Selasa (30/7).
Oleh karenanya, dia meminta, kalau memang pembicaraan Presiden SBY disadap dalam KTT G-20 di London, maka Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) harus memanggil Duta Besar Inggris dan Duta Besar Amerika.
Menurutnya, mereka harus mengklarifikasi penyadapan yang dilakukan intelijennya. "Pemerintah harus menunjukkan Indonesia negara berdaulat, bukan antek neoliberal, jangan sampai dianggap seperti negara pengecut. Kalau perlu meminta bukti-bukti penyadapan itu,"katanya.
Setidaknya, ujar Saifullah, Kemenlu menunjukkan sikap keberatan atas penyadapan itu dengan mengirimkan nota keberatan yang isinya protes atas tindakan intelijen Inggris dan Amerika. Masalah penyadapan ini akan terus terulang jika tidak ada tindakan tegas dari pemerintah.
Menteri Luar Negeri, terang Saifullah, belum memberikan komentar yang berarti terkait penyadapan pembicaraan SBY. Seharusnya, Kementerian Luar Negeri bisa bersikap lebih tegas. Indonesia merupakan negara bebas, Non Blok bisa fleksibel ke barat atau ke timur.